Sabtu, 14 Juli 2012

Menunggu Matahari


Matahari di ujung sana–entah di batas yang mana–berpendar oranye. Indah. Menyalurkan sejuta kebahagian yang terangkum dalam satu tatapan yang terekam dalam memori.

Kenyamanan perempuan yang mengalungkan kamera SLR-nya semakin bertambah dengan genggaman hangat penuh proteksi dari seseorang di sampingnya. Sudah lebih dari 10 hari mereka menghabiskan waktu berburu senja di seputar Jakarta.

Jakarta. Memangnya banyak matahari terlihat cantik di kota yang tiada jeda dan ruang itu? Itulah yang terpikirkan oleh sang lelaki ketika perempuannya meminta perburuan senja di kota yang diselimuti polusi dan berhiaskan gedung berpuluhan lantai.

Tapi itulah yang sang perempuan idamkan. Berburu sesuatu yang tampak mustahil. Karena, senja tidak selalu berpulang pada batas langit dekat laut bukan? Baginya, binar senja akan selalu terpencar di mana pun. Selama langit terbebaskan dari mendung.

Di sela-sela gedung berpuluhan lantai juga di langit yang bebas dari bangunan, perempuan itu selalu menemukan senja yang cantik. Tempat tak terduga.

“Nih, lihat...” Jenar mengulurkan layar kameranya kepada Raga. Memamerkan keindahan senja yang tak pernah Raga percaya akan didapatkan di Jakarta. “Masih skeptis kalo senja nggak bisa indah di Jakarta?”

Raga tertawa begitu melihat jepretan senja yang malah terlihat sangat memesona di layar kamera Jenar. Entah kamera yang bagus, kemampuan teknik foto Jenar yang semakin lihai, atau, senja yang memang tetap tampak indah apa adanya. Tak memedulikan tempat.

“Aku bukan skeptis, cuman ragu aja senja bisa sebagus yang kamu lihat di Kuta atau pantai mana pun.”

“Matahari nggak selalu tentang gunung atau pantai, Sayang...”

Jenar kembali berjalan menyusuri jalanan Senayan yang sepi pejalan kaki. Namun tentu saja jalan raya sama sekali jauh dari sepi di Sabtu sore.

Tangan kanannya bolak-balik tombol next dan previous untuk menikmati jepretan senjanya selama lima belas menit terakhir. Salah satu foto favoritnya adalah foto yang diambil oleh orang yang mereka mintai bantuan lima menit lalu.

Tentu saja itu menjadi favoritnya karena objek foto tersebut.

Foto dirinya dengan Raga yang saling berhadapan dan tertawa. Jemari Raga menyusuri pelipasnya yang berkeringat dan poni yang semakin berantakan karena dirinya lupa membawa jepitan. Jenar masih merasakan hangat dan lembutnya tangan Raga di pelipisnya.

It’s beautiful, rite?” Jenar menunjukkan kepada Raga foto tersebut sambil menyenderkan sesaat kepalanya pada bahu Raga. Senyuman bahagia tapi malu terus-menerus terpancar dari wajahnya yang semakin berbinar.

Yes.” Raga mengangguk dan mempererat genggamannya, “as beautiful as you are, Jenar Mahesa Putri.”

**

“Temenin aku hunting sunset lagi, ya?” pinta perempuan itu manja pada lelaki yang bergerak cepat merapihkan tumpukan kertas begitu perempuan itu muncul di kamarnya.

Jenar membantu Raga merapihkan kertas-kertas dengan grafik, tabel, tulisan, dan rumus yang tak dimengerti si perempuan.

Tapi Jenar mengerti kenapa Raga mengerahkan seluruh waktunya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Bahkan harus merelakan waktu senggang yang sebenarnya ingin Raga luangkan untuk dirinya di akhir pekan.

Raga bersyukur bahwa Jenar mengerti. Dan mereka tak pernah berdebat untuk masalah pekerjaan.

Karena untuk Raga, semua hambatan yang dilaluinya selama hampir lima tahun ini adalah jalan yang ditempuhnya untuk menuju tujuan akhirnya. Tujuan utama yang sangat ingin segera dicapainya.

“Jangankan sunset. Aku bahkan pengen ngelihat sunrise sama kamu, Sayang.”


**

Dan tiba-tiba keindahan senja tak terlihat.

Ada awan mendung yang selalu menghalangi keindahannya. Membuat orang-orang yang terbiasa melihat senja akan melupakan keindahan. Senja semakin terlupakan.

Jenar pun semakin tak bisa menutupi kesedihannya. Berburu senja yang menjadi salah satu kegiatan favoritnya untuk mengisi waktu dan juga menghibur diri sudah lama hilang. Binar di wajahnya pun semakin meredup. Apalagi setelah menemukan messenger mesra yang masuk ke Blackberry Raga. Membuktikan kecurigaannya tentang Raga yang semakin menjauh. Karena pekerjaannya selama ini tak pernah memberikan jarak bagi Jenar. Sesibuk apapun lelakinya.

“Jangan, Ga.... Jangan...”

Akhirnya Jenar lebih dulu memohon ketika ia menyadari bahwa pertemuannya sore hari yang tanpa senja ini. Seperti sebuah momen untuk mengakhiri hari.

“Aku udah banyak berbohong, jenar... Aku nggak mau lagi berbohong lebih banyak.”

“Tapi... aku masih pengen hunting sunset dan lihat sunrise sama kamu, Ga...”

Dan Raga tak bisa berkata apa-apa lagi.

Ia menarik Jenar ke dalam pelukannya. Kemudian menggiring perempuan yang terisak itu masuk ke dalam mobil.


**