Selasa, 28 Februari 2012

( A Part of ) Morning in Timeline

Kantin utama kampus benar-benar panas.

Apalagi di jam makan siang seperti ini, kantin yang seharusnya nyaman untuk menjadi tempat rehat dari perkuliahan malah memperparah sensitifitas mahasiswanya terhadap kemarahan.

Namun, ada lagi yang membuatku lebih ‘panas’ dari sekedar udara siang hari Jakarta di kantin yang sumpek.

Hanya berdua dengan cowok berkemeja biru langit di hadapanku ini.

Kukira, setelah hampir lebih 1000 hari-ku habis bersama dengannya, akan memperkebal indra perasaku. Tapi ternyata waktu nggak ngefek untuk orang yang jatuh cinta.

Aku mengutuk Daina dan Naya dalam hati yang mengatur semua ini.

Mereka berdua bilang harus ke kantor administrasi di lantai 3 terlebih dahulu untuk mengurusi pembayaran kuliah Daina yang telat. Karena minggu depan sudah masuk waktu UTS. Tapi akan segera menyusul ke kantin setelahnya.

Heran juga, kenapa aku nggak diajak dan malah menyuruh aku dengan Raga duluan. Ternyata, karena mereka memang bener-bener nggak akan nyusul.

Tapi untung saja, aku masih bisa mengatur kadar humor dan stabilitasku supaya tetap terlihat ‘baik-baik saja’ di depan cowok ini. Sehingga nggak kaku dan sibuk mencari-cari topik pembicaraan makan siang. Karena topik itu sendiri yang akan datang kepada kami.

Dan entah kenapa, di sela-sela canda dan tawa kami karena jokes-nya. Malah tercetus sebuah kalimat begitu saja.

“Eh, gue kan naksir elo, Ga,” cetusku sambil tertawa kecil. Aku nggak perduli Raga benar-benar mendengar kalimat yang sebenarnya atau tidak. Karena suasana kantin sedang ramai-ramainya.

“Eh?” tentu aja Raga kaget dan menatapku, meminta aku untuk mengulangi kembali perkataanku tadi. Aku bersyukur karena gengsi Raga yang tinggi. Dan dia sedang makan bakso yang pedesnya nggak karuan.

Kepedasan membuatnya benar-benar nggak fokus.

Dia akan ‘berlaga’ kalem dengan bakso yang pedas itu. Padahal, Raga nggak pernah benar-benar tahan pedas. Radar lidahnya akan bekerja 500x lipat kalau makanannya ada cabe.

Tapi, di depanku, Naya, dan Daina. Raga sama sekali gengsi kalau ketahuan kepedasan. Dan biasanya, dia nggak akan pernah konsentrasi 100% karena sedang mati-matian menahan pedas.

“Gue naksir kemeja elo. Warnanya biru langit, cerah.” Aku mengulangi kalimat yang serupa. Tentu saja aku nggak akan mengulang kalimat spontan itu supaya Raga benar-benar ngeh.

“Oh, gue kira apaan,” sahut Raga sambil tertawa dan geleng-geleng kepala. Aku mengernyitkan dahi, merasakan bahwa kami sama-sama menyembunyikan pemikiran liar.

“Emang, lo kira apaan, Ga?” aku bertanya dengan cuek namun tegas. Membuat Raga benar-benar menatapku yang cuek dengan tetap makan bakso. Tanpa perduli apa reaksi dan jawaban cowok itu.

Ragu-ragu, Raga menjawab.

“Gue kira, elo bilang naksirnya tanpa kata ‘kemeja’.”

Aku tetap mengunyah dan memotong bakso di mangkokku walau jawaban Raga yang singkat dan penuh teka-teki mengusikku.

Apa kamu benar-benar berharap seperti itu, Ga?

Lalu aku tertawa. Bukan maksud untuk menertawakan perkataan Raga yang akan terdengar konyol dari sudut pandang orang lain yang mengira hubungan kami adalah murni sahabat yang nggak pernah punya rasa lebih
.
Namun Raga seperti menangkap yang berbeda. Dia nggak marah atau ngomel-ngomel seperti biasanya kepadaku. Tapi, dia ikut tertawa. Entah untuk apa. Tapi pasti dia tertawa untuk alasan yang berbeda.

“Konyol banget yah perkiraan gue? Aneh banget kan?”

Apa yang konyol dan aneh, Ga, dari seorang perempuan yang memiliki perasaan spesial kepada seorang laki-laki? Mencintai seseorang dengan tulus namun diam-diam?

Dan aku ikut tertawa. Kali ini aku yang ikut tertawa bersamanya. Raga yang tertawa untuk hal yang menurutnya adalah konyol namun bagiku sama sekali enggak.

Aku, Karina Putri Wicaksana, adalah orang termunafik se-dunia.

**

Minggu, 05 Februari 2012

Genggaman Tangan

"Elo...mau pergi ke mana?"

Ia bertanya ketir ketika aku benar-benar melangkahkan kaki untuk beranjak dari tempat itu. Setelah aku mengancamnya untuk 'pergi'.

"Ke manapun. Selama gue nggak bisa lihat muka elo lagi, Ga."

"Tapi, Rin..." Ia masih berusaha menahanku dengan kata-katanya, "apa harus kita kayak 'gini'?"

Akhirnya, aku kembali berbalik. "Kenapa kita nggak bisa, setelah sekian lama?"

Raga. Lelaki yang berdiri hanya 2 meter di hadapanku terdiam. Ia sadar tentang keputusasaan dan kesabaranku yang sudah diambang batas.

Aku ingat, tempat ini pun - suatu sudut di lorong kampus - adalah tempat di mana aku dan dia saling megucap cinta. Mengucap janji yang tanpa berbuah sebuah ikatan. Ikatan yang tak akan pernah ada selama Raga masih dalam ikatan dengan kekasih yang ia cinta sama-sama kuat denganku.

Sebenarnya, aku kurang yakin dengan perkataan Raga. Aku skeptis dengan Raga yang mengatakan bahwa cintanya kepada kekasihnya dan diriku sama-sama kuat.

Namun, keraguan pun hilang karena aku mencintai lelaki ini. Mungkin lebih dari yang kekasihnya bisa berikan. Itu kataku. Kata sebagian besar diriku yang mencintainya.

Walaupun, itu sudah terjadi 3 tahun yang lalu. Dan Raga tak pernah mengucap cinta yang sama setelahnya. Aku tidak tahu, apakah hati Raga masih sama atau tidak.

Namun, jika tidak. Lalu apa arti waktu yang kami habiskan selama 3 tahun ini bagi lelaki itu? Kenapa ia masih bertahan di sampingku?

Aku mencintai Raga memang benar. Tapi, terus menerus menyerahkan hatiku terikat dengan Raga di bawah nama sahabat selama 3 tahun ini tanpa benar-benar mengaku cinta - Raga memutuskan hubungannya dengan kekasihnya. Membuatku lelah. Aku tak mau menyerahkan hatiku lebih lama.

Semua ini ada batasnya. Dan selama 3 tahun, aku tidak pernah melihat batas itu. Namun akhirnya ia muncul di hadapanku.

Hatiku terlampau kacau kali ini. Terlampau diobrak-abrik oleh cintaku pada Raga.

Aku kembali berbalik dan kembali melangkah. Namun, baru dua langkah berjalan. Tiba-tiba Raga menarik tangan kananku ke dalam genggamannya. Memaksaku untuk berbalik dan menatapnya.

Matanya yang tajam - yang selalu mampu membuat sistem tubuhku lemas dan tak berkekuatan - menatap tepat ke mataku yang sendu. Refleksi hati yang lelah untuk berpura-pura lebih lama.

"Stay with me, please, Karin... Stay with me..." Raga berbisik sambil.

"3 tahun ini udah terlalu lama, Ga... Udah terlalu lama..."

"But I will not let you go..."

Raga menggenggam tanganku dengan eratnya. Dengan penuh kasih sayang dan takut kehilangan - kalau boleh aku menamakannya dengan penuh percaya diri.

Dan aku kembali lemah. Terkuai oleh kasih sayang yang Raga salurkan dalam genggaman ini. Berbeda dengan sebelum-sebelumnya.

Kali ini penuh kesejukan yang menjalari hatiku yang mulai panas karena kesal dan lelah. Hati ini pun kembali teduh.

Dan dalam genggaman tangan Raga, aku tenang.

Kamis, 02 Februari 2012

Your Eyes

Teruntuk,
Seseorang yang memiliki mata indah dan tajam.
Membuat yang menatap terhanyut, tak ingin pergi, dan terjebak.
Sekalipun menimbulkan gugup luar biasa.
Bukan karena takut.
Tapi karena maat itu begitu indah.

**

Pada suatu pagi di pertemuan pertamaku dengan orang-orang asing. Aku langsung melihat sosok itu. Lengkap dengan sinar cahaya yang berkilauan di matanya. Dan aku terpana.

Cahaya dalam mata yang tajam itu, seolah menjadi jembatan antara jiwa manusia dengan semangat dan kebahagiaan yang siap dijemput oleh seluruh jiwa. 1 detik menatapnya, membuatmu terpana. 3 detik menatapnya, membuatmu tak ingin ke mana-mana dan menginap di sana. 5 detik menatapnya, menghangatkan hati dan kau bergairah untuk melakukan apapun, bersemangat untuk apapun. Lebih dari 5 detik dan berkali-kali, membuatmu ingin memiliki-nya.

Tebaklah, di mana posisiku?

Ya, antara 5 dan lebih dari 5. Bukan hanya beberapa kali. Namun ribuan.

Satu kali menatapnya, langsung membuatku betah berlama-lama di sana. Dan beberapa kali menatapnya lebih dari 5 detik. Ternyata membuatku ingin memlikinya. Mata itu dan pemiliknya.

Namun, sudah lebih dari 500 hari kita kenal dan berteman. Aku tak pernah memilikinya.

Ah, apakah itu karena kau tahu bahwa yang kuinginkan adalah mata itu? Mata dengan segenap sinar cahaya yang terkumpul di sana? Karena seringkali kau memergokiku yang sedang menginap di sana dan terjebak. Bukan tak bisa keluar, namun tak ingin.

Namun, kini ke mana cahaya itu? Cahaya yang mampu menggerakkan semangat dan ceriaku. Ia mulai meredup dari hari ke hari semenjak hari ke-500 pertemuan kita. Ia pun menjadi kelam dan mulai mengerikan untuk ditatap. Sengajakah ia menyembunyikan cahayanya agar tak lagi kulirik?

Dan pada senja hari, tepat ketika matahari hendak kembali ke peraduannya. Aku melihatnya berdiri di taman kampus.

Matanya tertutup. Tangannya memperlihatkan gerakan aneh di depan matanya. Berputar-putar dan melambai-lambai, lalu tampak seperti menggenggam sesuatu. Tangan kokoh itu pun membuka genggamannya ke arah depan. Kemudian, ada kilauan yang keluar dari sana. Semula sangat terang namun lama kelamaan meredup dan tak terlihat.

Lalu ia menghela napas. Menatap udara tempat kilauan tersebut pergi jauh untuk kembali ke tempat asalnya. Matahari yang mulai oranye di atas sana.

Ah, ternyata cahaya itu dari sana. Dan kamu telah mengembalikannya untuk selamanya.

Karena esok paginya, aku tak lagi melihat apa-apa di mata itu.

Rabu, 01 Februari 2012

Lampu Merah


Pernahkan kamu mencintai dalam diam dan terpana ketika menyadari cinta itu sudah bertahan lama tanpa disadari?


Cinta dalam diam itu memang tidak pernah disapa oleh sang objek. Ada bahagia memang. Tapi itu bukanlah semacam bahagia yang ada sebagai cinta berbalas.


Dan cinta diam-diam itu pun terselubung oleh sebuah nama persahabatan. Suatu fase pelarian ketika cinta bukan alasan utama untuk bersama.


Aku pernah.


Tidak, aku pernah dan sedang menjalaninya. Kepada dan bersama lelaki yang berjalan bersamaku di pinggir jalan raya. Suatu jalan raya dekat kampus. Suatu jalan raya yang hanya berjarak beberapa meter dari lampu merah yang padat dan bising.


Aku tidak akan melupakan senja itu. Suatu senja di mana aku menyadari bahwa cinta masih bertahan hingga ratusan hari. Membuatku takjub.


Walau dalam ratusan itu, terdapat nyeri dan bahagia yang terus berganti. Ia memberiku seribu rasa dan makna baru setiap harinya.Membuatku tak pernah berhenti bertanya. Kenapa cinta ini dapat bertahan?


"Gue sendiri aja," potongku cepat melihat gerakan tubuhnya yang akan ikut maju untuk menyebrang denganku.


"Eh," ia menoleh kaget karena penolakanku, "nggak apa-apa nih?" tanyanya sangsi.


Aku mengangguk. "Serius. Elo kan mesti ngejer bisjuga," kataku sambil melihat jalan raya di depan, "duluan ya," pamitku sambil setengah berlari ketika jalanan mulai sepi.


Ada kecewa ketika ia tak memaksa. Ah, dasar perempuan selalu plin-plan dan munafik. Sudah ditawari tapi menolak. Ketika dituruti malah kesal. Aku menyalahkan egoku sebagai perempuan yang ingin dilindungi.


Aku pun memutar badan ketika sudah sampai di seberang. Dan langsung terpana ketika melihat sosok diseberang sana yang kutolak tawarannya semenit lalu tidak bergerak ke manapun. Ia masih diam di sana memandangi langkahku menyebrang.


Di antara lalu lalang mobil dan motor di lampu merah yang ramai dan bising. Aku masih bisa melihat ia yang tersenyum dan melambaikan tangan ketika mata kami beradu. Memastikan perempuan yang berjalan bersamanya selamat menyebrang.


Setelah aku membalas lambaian dan senyumannya. Samar aku melihat bibirnya bergerak mengeja sebuah kalimat. Dengan jarak puluhan meter jauhnya, aku membutuhkan puluhan detik untuk mencerna maksud gerakan bibirnya.


Lalu, dadaku pun sesak oleh bahagia. Haru.


Aku balas tersenyum sambil mengangguk. Tak ada kata yang keluar dari bibirku. Hanya anggukan dan senyuman untuk membalas ucapannya, "Hati-hati ya..."


Sepele memang. Bukankah sudah seharusnya lelaki seperti itu terhadapa wanita? Tapi melihat senyum dan lambaian tangannya sungguh merontokkan kesalku.


Sekarang, aku tahu kenapa mencintai lelaki itu dan tidak pernah berubah.


Karena ia memang patut untuk dicintai.


***


Untuk,

seseorang yang (mungkin) tidak akan pernah sadar tentang kehadiran cinta.

Terima kasih untuk 480 hari ini.