Nah, sekarang mau share tentang beberapa kalimat atau momen dari cerita Naya dan Gian.
Maaf karena emang agak #random dan bikin orang bingung sih kalo baca. Tapi semoga aja feeling-nya dapet yah kalo baca walaupun ceritanya belum bisa dimengerti :)
“Nggak. Aku nggak kuliah Nay...” jawab Gian ragu, “aku baru pulang nganterin pacarku survei tugas kuliah.”
“Oh...” sahut Naya lalu terdiam. Beberapa detik kemudian bibirnya menyunggingkan senyum kecil yang mungkin akan Gian lihat melalui ujung kaca spionnya. Naya mengangguk mengerti. Walaupun ia cukup terkejut dengan satu fakta dan pertanyaan yang selama ini berkeliaran di otaknya dan kini terjawab begitu saja. Tapi ternyata hatinya baik-baik saja. Atau, hatinya sudah cukup terbiasa dengan kejutan-kejutan kecil yang tiba-tiba terkuak akhir-akhir ini? Hingga sudah kebal dan nggak lagi terpengaruh denga kejutan yang ternyata menyakitkan?
Naya yang biasanya agak nervous dan takut jika naik wahana-wahana ekstrem Dufan. Kali ini merasa nyaman dalam genggaman jemari Gian. Hatinya merasa aman dan damai saat ini. Ia melirik cowok di sampingnya yang sedang menatap salah satu wahana ekstrem Dufan di depan mereka.
Dengan kenyamanan yag ia rasa saat ini. Naya tahu, bahwa hatinya memang tidak pernah berubah untuk Gian. Sebanyak apapun cowok yang datang dan pergi dalam hidupnya selama tiga tahun ini. Sesempurna apapun cowok yang pernah mengisi kekosongannya akibat kehilangan Gian. Naya selalu tahu bahwa untuk Gian hatinya selalu menyediakan tempat.
“Aku kangen kamu, Nay...” bisik Gian ketika kora-kora mulai melambat untuk berhenti.
Naya membelalak terkejut. Tersenyum kecil sekaligus pahit mengingat juga rindunya yang selama ini menyesakkan karena tidak pernah terobati. Selama ini ia simpan sendiri saja rindunya untuk Gian. Tanpa pernah mengucapnya kepada siapapun walau orang-orang mungkin melihat. Tapi ia tidak pernah jujur kepada mereka bahwa ia sangat rindu kepada cowok itu. Bahkan, memberi tahu Gian sendiri pun tidak.
Dan kali ini, ia biarkan rindu yang sudah tersimpan sejak lama dan selalu berlipat ganda meluap begitu saja di hadapan Gian langsung. “Aku juga, Gi...”
Gian tahu cewek di sampingnya sedang merasa tidak nyaman dan ia sudah menebak apa alasannya. Tapi untuk saat ini ia memilih untuk diam saja. Dan mengusap lembut pipi cewek itu sambil tersenyum ketika sudah keluar dari area Hysteria.
Tapi Naya malah menahan gerakan tangan Gian di pipinya. Tidak mau terhanyut lebih lama dalam sentuhan Gian yang selalu menghangatkan dan mendamaikan hatinya. Karena ia tahu bahwa hari ini hanyalah akan menjadi kenangan dan cerita pendek. Tidak akan berlanjut. Kecuali cerita tentang hatinya saja yang tetap mencintai.
Gian pun menurut akan isyarat Naya dan menurunkan tangannya. Kembali berjalan menelusuri jalanan Dufan. Kali ini dengan diam. Karena mereka sama-sama tahu bahwa hari ini hanyalah kenangan.
Dan untuk yang–mungkin–terakhir kalinya. Naya memandangi sosok Gian dengan motor birunya yang menghilang di ujung jalan.
Entah kenapa, untuk kali ini ia tidak merasa sakit. Hatinya sudah cukup lepas. Mungkin karena sudah tahu bahwa mereka sama-sama mencintai dan itu saja sudah cukup baginya?
Keinginan dan ucapan mereka berdua satu hari ini terbukti. Karena bahkan, setelah menghabiskan waktu seharian hingga malam pun. Pesan singkat dari Gian tidak muncul di ponsel Naya.
Cerita mereka tidak akan pernah berlanjut. Kecuali cinta.
Dan ia tahu, bahwa saat ini semua pertanyaannya sudah terjawab. Rindunya sudah terobati dengan pertemunnya dan Gian hari ini, permainan waktu mereka di Dufan. Semuanya seharusnya sudah lebih dari cukup. Seharusnya semua perasaannya untuk Gian sudah bisa lepas dan menghilang hari ini.
Tapi Naya tahu, bahwa semua kata ‘seharusnya’ itu tidak pernah berlaku untuk Gian. Perasaannya masih sama, semuanya masih sama, kecuali Gian. Ia sudah berubah.