Ia
masih saja bergeming.
Entah
apa yang ia pikirkan selama enam belas menit ini semenjak aku memutuskan untuk
duduk di sampingnya. Aku kehabisan akal dan juga kesabaran. Ingin memulai
semuanya namun merasa egoku sebagai seorang perempuan pun terusik.
Kemudian
aku ingat, ah, mungkin memang ia memilih diam. Bukan karena ia adalah seorang
lelaki dengan sedikit kata. Tapi seingatku, semenjak kami bertemu delapan bulan
lalu ia bukan lagi lelaki dengan sedikit kata. Ia sudah banyak berkata
kepadaku. Bahkan kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah rangkaian kata yang
biasa lelaki katakan kepada seorang perempuan. Kegombalan.
Sesak
di dalam hatiku selama ini, selama enam belas menit sama sekali diabaikan ini
yang kemudian menyadarkanku. Mungkin karena aku tak terbiasa diabaikan olehnya
empat bulan lalu. Mungkin memang aku yang harus memulai.
Ia
diam–lagi-lagi aku yang berspekulasi–mungkin karena menungguku berbicara.
Menjelaskan apa yang terjadi empat bulan lalu.
“Kamu
salah sangka, Be.”
“Mungkin
gue salah sangka karena elo keterlaluan.”
Aku
menjerit dalam hati. Kata-kata Abe kembali meremas hatiku yang sudah terluka
dengan ketidakpeduliannya.
“Aku...
Aku sama sekali...” otakku seperti nggak mengenal kata-kata.
**
“Maaf
yah, Yu.”
Aku
mengangguk namun lelaki di hadapanku berkata kembali. “Setelah semua yang gue
lakuin, gue masih aja ngerepotin elo.”
“Lo
jangan kebanyakan nonton FTV makanya. Drama banget tahu gak sih bawa-bawa gue
segala.”
“Lagian
cuman elo cewek yang bisa bikin dia jealous
dan mikir.”
“Mikir
kalo elo nggak mungkin khianatin dia kayak elo ngekhianatin gue?”
“Ayu...”
“Gue
becanda.” Aku tertawa kecil sambil mengibaskan tangan.
Sepeninggal
lelaki yang bukan hanya mengkhianatiku namun menghancurkan kepercayaanku juga.
Sehelai mawar putih terbang dan mampir di telapak tanganku yang meraih pintung
gerbang, hendak menutup pintu.
Abe
berdiri lima meter di depanku. Malam memang menggelapkan penglihatanku untuk
melihat wajahnya secara utuh. Namun, tatapan Abe tidak redup.
Ia
menyala dan datar. Terlalu datar.
Sebuah
datar terpilu yang pernah aku lihat.
**
“Udahlah,
Yu. Gue udah mencoba ikhlas selama empat bulan ini. Kenapa lo malah ngungkit
sekarang?”
“Karena
kamunya juga nggak mau dengerin aku!” Aku mulai terisak. “Kalo bukan karena
kamu harus nungguin kereta sekarang dan tempat ini terlalu ramai untuk
malu-maluin aku. Kamu bakalan pergi juga kan semenjak aku duduk di sini?”
Kali
ini Abe mulai bergerak. Ia menutup dan melipat koran yang dibacanya.
“Ayu...,”
Abe mulai memanggil namaku. Cara Abe memanggilku saat ini mengingatkanku pada
suara-suara Abe yang lembut memanggil namaku empat bulan lalu. Membuat aku
semakin nggak berdaya karena merasa bodoh dan menyesal.
“Kamu
adalah hal terindah yang pernah terjadi sama aku, Be...”
“Tapi
elo malah naro gue di posisi yang nggak menyenangkan, Yu. Gue udah berusaha
untuk mengikhlaskan elo. Jadi, kenapa elo malah muncul sekarang?”
Kali
ini aku memilih diam. Energiku berada di samping Abe ternyata benar-benar
terhisap hingga habis.
“Bagaimana
pun juga, gue tetep berterima kasih ke elo, Yu.”
“Terima
kasih?”
Abe
nggak langsung menjawab, cowok yang kukangeni selama beberapa bulan itu malah
berdiri. Ketika aku menatapi tubuh jangkungnya yang berdiri tegak di sampingku
dengan penuh tanda tanya tersirat di dahi. Abe malah berkata, “Gue nggak akan
mencapai apapun yang gue capai hari ini kalo lo nggak pernah begitu.”
Aku
mensyukuri keputusanku beberapa detik lalu yang nggak mengikuti keingintahuanku
untuk ikut berdiri dengan Abe. Karena ketika itu juga, aku langsung merasa
persendianku lepas. Akibat dari hati yang ungu dan semakin lebam.
Cowok
itu melambaikan tangan kepada seorang cewek dengan kemeja flower print berwarna cerah dan jeans serta postman bag berwarna coklat yang tersampir di bahunya. Rambut panjang
cewek itu terkuncir rapih membentuk sebuah juntaian rambut yang bergerak-gerak
seiring langkahnya.
Dengan
kehadiran cewek itu, dan juga ingatanku pada kabar tentang keberhasilan Abe
untuk menjadi salah satu utusan pertukaran mahasiswa enam bulan mendatang ke
Washington DC. Membuatku mengerti dengan
maksud kalimat Abe sebelumnya.
Abe
nggak melakukan pembalasan apapun kepadaku. Ia hanya menjalani hidupnya. Hidupnya
yang tanpa aku.
Setelah
semua yang kulakukan, setelah semua penyesalanku, mungkinkah aku dan Abe
sama-sama pantas mendapatkan apapun yang kami miliki saat ini?
Aku
tercekat. Dan hatiku semakin terhimpit mengingat rindu yang kusimpan
berbulan-bulan namun nggak pernah usang ini.
“Be,”
aku membuang jauh-jauh harga diri yang menahan keinginanku untuk mengucap rindu
selama empat bulan ini. Di detik terakhir kesempatanku dengan Abe yang lebih
kecil dari ukuran mikroba, “Did you ever
miss me? Because I’ve missed you...a lot.”
Abe
hanya menunda langkahnya untuk beberapa detik. Ia menengok dan menatapku. Kali ini
tidak datar. Tidak ada kilatan kesal dan penyesalan di matanya.
“Semuanya
cuman kenangan. Dan kenangan, tetaplah kenangan.”
Ia
memang tidak menjawab. Namun, kalimat tersebut ternyata lebih dari sekedar
menjawab rinduku. Namun juga menjawab pertanyaan-pertanyaanku yang lainnya.
Abe
kembali berjalan tanpa menunggu respon apapun dariku.
Ia
benar-benar berjalan tanpa menengok. Menuju
sebuah kereta yang akan berangkat beberapa menit lagi.
Tepat
di jam lima sore. Saat aku bertemu dengan Abe untuk pertama kalinya delapan
bulan yang lalu.
**