Sabtu, 20 Oktober 2012

Adalah Salah Satunya...


Lagu yang indah, adalah lagu yang akan terus terngiang di telingamu sekalipun kau tak sedang mendengarkannya.
Suaramu, adalah salah satunya.

Film yang menarik, adalah yang tiap framenya akan terus terbayang di otakmu sekalipun kau tak sedang menyaksikannya.
Gerakanmu, adalah salah satunya.

Buku yang menginspirasi, adalah yang kalimat-kalimatnya yang akan terekam di otak sekalipun kau tak sedang membacanya.
Ucapanmu, adalah salah satunya.

Lukisan yang menakjubkan, adalah yang paduan warnanya akan terus membekas di penglihatanmu sekalipun kau tak sedang menatapnya.
Senyumanmu, adalah salah satunya.

Ciptaan Tuhan yang sempurna, adalah ia yang tanpa cela di muka, sekalipun kita tak tahu apa yang ada di dalamnya.
Dirimu, adalah salah satunya.

Rindu yang menggebu, adalah ia yang akan terus mengejarmu sekalipun kau sudah bertemu dengannya.
Merindukanmu, adalah salah satunya.

Cinta yang dalam, adalah ia yang akan terus di hatimu sekalipun kau tak memilikinya.
Mencintaimu, adalah salah satunya.

*maaf ya kalo masih ngaco dan asal. cuman mau menyalurkan 'kegilaan' gara2 Lee Seung GI nih *___*

Selasa, 16 Oktober 2012

#Rahasia

"Elo gak nunggu, atau berharap bahwa Raga putus?" 
Sudah banyak pertanyaan atau bahkan pernyataan serupa yang Karin dengar seperti pertanyaan Bayu ini. Namun, kali ini ia nggak lagi menanggapinya dengan senyum manis berisi harapan dan angan-angan. 
Dengan singkat, Karin menggeleng sambil tersenyum miris. 
"Lagipula, gue bukan satu-satunya, Bay." 
Bayu mengangkat alis kanannya. Karin kembali berkata, menjelaskan dengan alasan terrasional yang pernah mampir di otaknya. Dan bahkan mampu mengalahkan keinginan hatinya yang paling besar. 
"Gue bukan satu-satunya yang menunggu," Karin menghela napas sambil tertawa kecil, "gue bukan satu-satunya yang berharap nggak menjadi orang ketiga di antara Raga dan Jenar." 
Akhirnya Bayu mengatupkan mulutnya, berusaha memahami keadaan dan perasaan Karin yang sebenarnya tak jauh berbeda dengan miliknya. 
"Tiga tahun, ya?" Tanya Bayu yang membuat Karin langsung tersentak. Tiga tahun adalah waktu yang sangat panjang untuk dibayangkan. Namun nyatanya, ia sudah memiliki rahasia ini 'selama' itu. 
Karin mengangguk. Walau dalam hati ia ingin mengingkari bahwa perasaannya tak-terasa-'selama' itu. Bahwa ia berharap, kemarin ia jatuh cinta dan esok sudah mampu melupakan rasa. 
Bayu menggeleng-geleng nggak mengerti. "Tiga tahun, dan Raga bener-bener nggak menyadarinya?" 
Karin mengangkat kedua bahunya sambil tetap mencatat. 
"Elo yang kepinteran nyembunyiin, atau... Raga yang terlalu bego sih?" 
Kali ini Karin malah tertawa kecil setelah mendengarkan pertanyaan Bayu yang frustasi. 
"Bukan keduanya," Karin berusaha menjawab dengan isi hatinya sambil tetap mencatat, "gue dan dia, sama-sama terlalu bahagia karena jatuh cinta. Bedanya, kita nggak mencintai hal yang sama." 
Lengkungan di bibir Karin yang semula terbentuk hingga ke pipi kini menghilang. Lengkungan tersebut berubah menjadi sebuah garis lurus yang hanya ada di bibirnya. Tidak membentuk apapun kecuali kedataran. 
Ia barulah menyadari, tiga tahun adalah waktu yang terlalu lama untuk sekedar jatuh cinta dan saling nggak menyadari. 
Waktu, belum atau bahkan nggak pernah membuat dirinya dan Raga mencintai hal yang sama. 

Selasa, 02 Oktober 2012

Kereta Api Jam Lima


Ia masih saja bergeming.
Entah apa yang ia pikirkan selama enam belas menit ini semenjak aku memutuskan untuk duduk di sampingnya. Aku kehabisan akal dan juga kesabaran. Ingin memulai semuanya namun merasa egoku sebagai seorang perempuan pun terusik.
Kemudian aku ingat, ah, mungkin memang ia memilih diam. Bukan karena ia adalah seorang lelaki dengan sedikit kata. Tapi seingatku, semenjak kami bertemu delapan bulan lalu ia bukan lagi lelaki dengan sedikit kata. Ia sudah banyak berkata kepadaku. Bahkan kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah rangkaian kata yang biasa lelaki katakan kepada seorang perempuan. Kegombalan.
Sesak di dalam hatiku selama ini, selama enam belas menit sama sekali diabaikan ini yang kemudian menyadarkanku. Mungkin karena aku tak terbiasa diabaikan olehnya empat bulan lalu. Mungkin memang aku yang harus memulai.
Ia diam–lagi-lagi aku yang berspekulasi–mungkin karena menungguku berbicara. Menjelaskan apa yang terjadi empat bulan lalu.
“Kamu salah sangka, Be.”
“Mungkin gue salah sangka karena elo keterlaluan.”
Aku menjerit dalam hati. Kata-kata Abe kembali meremas hatiku yang sudah terluka dengan ketidakpeduliannya.
“Aku... Aku sama sekali...” otakku seperti nggak mengenal kata-kata.

**

“Maaf yah, Yu.”
Aku mengangguk namun lelaki di hadapanku berkata kembali. “Setelah semua yang gue lakuin, gue masih aja ngerepotin elo.”
“Lo jangan kebanyakan nonton FTV makanya. Drama banget tahu gak sih bawa-bawa gue segala.”
“Lagian cuman elo cewek yang bisa bikin dia jealous dan mikir.”
“Mikir kalo elo nggak mungkin khianatin dia kayak elo ngekhianatin gue?”
“Ayu...”
“Gue becanda.” Aku tertawa kecil sambil mengibaskan tangan.
Sepeninggal lelaki yang bukan hanya mengkhianatiku namun menghancurkan kepercayaanku juga. Sehelai mawar putih terbang dan mampir di telapak tanganku yang meraih pintung gerbang, hendak menutup pintu.
Abe berdiri lima meter di depanku. Malam memang menggelapkan penglihatanku untuk melihat wajahnya secara utuh. Namun, tatapan Abe tidak redup.
Ia menyala dan datar. Terlalu datar.
Sebuah datar terpilu yang pernah aku lihat.

**

“Udahlah, Yu. Gue udah mencoba ikhlas selama empat bulan ini. Kenapa lo malah ngungkit sekarang?”
“Karena kamunya juga nggak mau dengerin aku!” Aku mulai terisak. “Kalo bukan karena kamu harus nungguin kereta sekarang dan tempat ini terlalu ramai untuk malu-maluin aku. Kamu bakalan pergi juga kan semenjak aku duduk di sini?”
Kali ini Abe mulai bergerak. Ia menutup dan melipat koran yang dibacanya.
“Ayu...,” Abe mulai memanggil namaku. Cara Abe memanggilku saat ini mengingatkanku pada suara-suara Abe yang lembut memanggil namaku empat bulan lalu. Membuat aku semakin nggak berdaya karena merasa bodoh dan menyesal.
“Kamu adalah hal terindah yang pernah terjadi sama aku, Be...”
“Tapi elo malah naro gue di posisi yang nggak menyenangkan, Yu. Gue udah berusaha untuk mengikhlaskan elo. Jadi, kenapa elo malah muncul sekarang?”
Kali ini aku memilih diam. Energiku berada di samping Abe ternyata benar-benar terhisap hingga habis.
“Bagaimana pun juga, gue tetep berterima kasih ke elo, Yu.”
“Terima kasih?”
Abe nggak langsung menjawab, cowok yang kukangeni selama beberapa bulan itu malah berdiri. Ketika aku menatapi tubuh jangkungnya yang berdiri tegak di sampingku dengan penuh tanda tanya tersirat di dahi. Abe malah berkata, “Gue nggak akan mencapai apapun yang gue capai hari ini kalo lo nggak pernah begitu.”
Aku mensyukuri keputusanku beberapa detik lalu yang nggak mengikuti keingintahuanku untuk ikut berdiri dengan Abe. Karena ketika itu juga, aku langsung merasa persendianku lepas. Akibat dari hati yang ungu dan semakin lebam.
Cowok itu melambaikan tangan kepada seorang cewek dengan kemeja flower print berwarna cerah dan jeans serta postman bag berwarna coklat yang tersampir di bahunya. Rambut panjang cewek itu terkuncir rapih membentuk sebuah juntaian rambut yang bergerak-gerak seiring langkahnya.
Dengan kehadiran cewek itu, dan juga ingatanku pada kabar tentang keberhasilan Abe untuk menjadi salah satu utusan pertukaran mahasiswa enam bulan mendatang ke Washington DC.  Membuatku mengerti dengan maksud kalimat Abe sebelumnya.
Abe nggak melakukan pembalasan apapun kepadaku. Ia hanya menjalani hidupnya. Hidupnya yang tanpa aku.
Setelah semua yang kulakukan, setelah semua penyesalanku, mungkinkah aku dan Abe sama-sama pantas mendapatkan apapun yang kami miliki saat ini?
Aku tercekat. Dan hatiku semakin terhimpit mengingat rindu yang kusimpan berbulan-bulan namun nggak pernah usang ini.
“Be,” aku membuang jauh-jauh harga diri yang menahan keinginanku untuk mengucap rindu selama empat bulan ini. Di detik terakhir kesempatanku dengan Abe yang lebih kecil dari ukuran mikroba, “Did you ever miss me? Because I’ve missed you...a lot.”
Abe hanya menunda langkahnya untuk beberapa detik. Ia menengok dan menatapku. Kali ini tidak datar. Tidak ada kilatan kesal dan penyesalan di matanya.
“Semuanya cuman kenangan. Dan kenangan, tetaplah kenangan.”
Ia memang tidak menjawab. Namun, kalimat tersebut ternyata lebih dari sekedar menjawab rinduku. Namun juga menjawab pertanyaan-pertanyaanku yang lainnya.
Abe kembali berjalan tanpa menunggu respon apapun dariku.
Ia benar-benar berjalan tanpa menengok. Menuju sebuah kereta yang akan berangkat beberapa menit lagi.
Tepat di jam lima sore. Saat aku bertemu dengan Abe untuk pertama kalinya delapan bulan yang lalu.

**

Rabu, 12 September 2012

Berhenti



Berhenti merindukanmu, tidak membuatku berhenti ingin bertemu denganmu.
Berhenti berkhayal tentang masa depan yang denganmu, tidak berarti aku tidak pernah memimpikan atau menginginkanmu.
Berhenti bercerita tentangmu, tidak berarti aku acuh terhadap kabarmu.
Berhenti menghubungimu, tidak membuatku berhenti ingin bertukar kabar denganmu.

Tahukah kau, bahwa tidak ada kata ‘berhenti’ bagiku jika itu tentangmu?
Karena bagiku, waktu dan ruang akan selalu ada untuk kehadiranmu.

...

Karena berhenti menginginkanmu, tidak membuat aku berhenti mencintaimu.

Sabtu, 14 Juli 2012

Menunggu Matahari


Matahari di ujung sana–entah di batas yang mana–berpendar oranye. Indah. Menyalurkan sejuta kebahagian yang terangkum dalam satu tatapan yang terekam dalam memori.

Kenyamanan perempuan yang mengalungkan kamera SLR-nya semakin bertambah dengan genggaman hangat penuh proteksi dari seseorang di sampingnya. Sudah lebih dari 10 hari mereka menghabiskan waktu berburu senja di seputar Jakarta.

Jakarta. Memangnya banyak matahari terlihat cantik di kota yang tiada jeda dan ruang itu? Itulah yang terpikirkan oleh sang lelaki ketika perempuannya meminta perburuan senja di kota yang diselimuti polusi dan berhiaskan gedung berpuluhan lantai.

Tapi itulah yang sang perempuan idamkan. Berburu sesuatu yang tampak mustahil. Karena, senja tidak selalu berpulang pada batas langit dekat laut bukan? Baginya, binar senja akan selalu terpencar di mana pun. Selama langit terbebaskan dari mendung.

Di sela-sela gedung berpuluhan lantai juga di langit yang bebas dari bangunan, perempuan itu selalu menemukan senja yang cantik. Tempat tak terduga.

“Nih, lihat...” Jenar mengulurkan layar kameranya kepada Raga. Memamerkan keindahan senja yang tak pernah Raga percaya akan didapatkan di Jakarta. “Masih skeptis kalo senja nggak bisa indah di Jakarta?”

Raga tertawa begitu melihat jepretan senja yang malah terlihat sangat memesona di layar kamera Jenar. Entah kamera yang bagus, kemampuan teknik foto Jenar yang semakin lihai, atau, senja yang memang tetap tampak indah apa adanya. Tak memedulikan tempat.

“Aku bukan skeptis, cuman ragu aja senja bisa sebagus yang kamu lihat di Kuta atau pantai mana pun.”

“Matahari nggak selalu tentang gunung atau pantai, Sayang...”

Jenar kembali berjalan menyusuri jalanan Senayan yang sepi pejalan kaki. Namun tentu saja jalan raya sama sekali jauh dari sepi di Sabtu sore.

Tangan kanannya bolak-balik tombol next dan previous untuk menikmati jepretan senjanya selama lima belas menit terakhir. Salah satu foto favoritnya adalah foto yang diambil oleh orang yang mereka mintai bantuan lima menit lalu.

Tentu saja itu menjadi favoritnya karena objek foto tersebut.

Foto dirinya dengan Raga yang saling berhadapan dan tertawa. Jemari Raga menyusuri pelipasnya yang berkeringat dan poni yang semakin berantakan karena dirinya lupa membawa jepitan. Jenar masih merasakan hangat dan lembutnya tangan Raga di pelipisnya.

It’s beautiful, rite?” Jenar menunjukkan kepada Raga foto tersebut sambil menyenderkan sesaat kepalanya pada bahu Raga. Senyuman bahagia tapi malu terus-menerus terpancar dari wajahnya yang semakin berbinar.

Yes.” Raga mengangguk dan mempererat genggamannya, “as beautiful as you are, Jenar Mahesa Putri.”

**

“Temenin aku hunting sunset lagi, ya?” pinta perempuan itu manja pada lelaki yang bergerak cepat merapihkan tumpukan kertas begitu perempuan itu muncul di kamarnya.

Jenar membantu Raga merapihkan kertas-kertas dengan grafik, tabel, tulisan, dan rumus yang tak dimengerti si perempuan.

Tapi Jenar mengerti kenapa Raga mengerahkan seluruh waktunya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Bahkan harus merelakan waktu senggang yang sebenarnya ingin Raga luangkan untuk dirinya di akhir pekan.

Raga bersyukur bahwa Jenar mengerti. Dan mereka tak pernah berdebat untuk masalah pekerjaan.

Karena untuk Raga, semua hambatan yang dilaluinya selama hampir lima tahun ini adalah jalan yang ditempuhnya untuk menuju tujuan akhirnya. Tujuan utama yang sangat ingin segera dicapainya.

“Jangankan sunset. Aku bahkan pengen ngelihat sunrise sama kamu, Sayang.”


**

Dan tiba-tiba keindahan senja tak terlihat.

Ada awan mendung yang selalu menghalangi keindahannya. Membuat orang-orang yang terbiasa melihat senja akan melupakan keindahan. Senja semakin terlupakan.

Jenar pun semakin tak bisa menutupi kesedihannya. Berburu senja yang menjadi salah satu kegiatan favoritnya untuk mengisi waktu dan juga menghibur diri sudah lama hilang. Binar di wajahnya pun semakin meredup. Apalagi setelah menemukan messenger mesra yang masuk ke Blackberry Raga. Membuktikan kecurigaannya tentang Raga yang semakin menjauh. Karena pekerjaannya selama ini tak pernah memberikan jarak bagi Jenar. Sesibuk apapun lelakinya.

“Jangan, Ga.... Jangan...”

Akhirnya Jenar lebih dulu memohon ketika ia menyadari bahwa pertemuannya sore hari yang tanpa senja ini. Seperti sebuah momen untuk mengakhiri hari.

“Aku udah banyak berbohong, jenar... Aku nggak mau lagi berbohong lebih banyak.”

“Tapi... aku masih pengen hunting sunset dan lihat sunrise sama kamu, Ga...”

Dan Raga tak bisa berkata apa-apa lagi.

Ia menarik Jenar ke dalam pelukannya. Kemudian menggiring perempuan yang terisak itu masuk ke dalam mobil.


**

Senin, 28 Mei 2012

Maybe, it's about balancing...


Semakin ke sini, gue semakin sadar, kalo yang namanya kemampuan seseorang nggak selalu tentang pinter ngitung ataupun gambar. Masih banyak – banyak banget – kemampuan lain non-akademik dan seni yang menjadi keunggulan seseorang.

Dan, betapa kasihannya orang-orang yang nggak punya keunggulan atau kemampuan rata-rata eksakta dan gambar yang mengambil major kayak gue (TI). Harus berjuang keras melawan ego karena under estimate orang-orang dan kemampuan di bawah rata-rata untuk bisa survive.

Nggak usah ambil contoh jauh-jauh ke orang.

Gue sendiri pun mengalami. Karena dari dulu – dari jaman pelajaran seni atau KTK jaman SD – gue sadar banget kalo kemampuan seni gue rendah. Dan itu terus berlanjut ketika SMP dan SMA di mana gue harus bisa ‘kaligrafi’. Mungkin, temen-temen gue yang tahu kemampuan gue dan melihat kaligrafi gue ‘ngetawain’ diam-diam. No problem J

But just please remember, you don’t know how it feel, rite ? J

Gimana nggak enaknya di saat orang-orang bisa nyelesein tugas yang hanya bikin ‘alif’ dengan sangat baik sedangkan gue setengah mati membuat tugas gue terlihat seperti ‘alif’ ?

Iya, gue memang separah itu.

Satu-satunya seni yang bisa gue anggap sebagai kemampuan seni adalah seni merangkai kata-kata yang masih sangat harus terus diasah. Gue – sekarang - bukan  seseorang yang excellent dalam menulis. Tapi gue percaya, satu saat, kalo gue masih terus menggenggam kemampuan dan kemauan gue untuk belajar. Kata mendekati excellent akan gue capai.

And I see people – even sometimes my-self, keep under-estimating others.

Ironiknya, hanya berdasarkan pada ‘dia bisa ngitung atau nggak’ , ‘dia gambarnya bagus atau nggak’, ‘dia belajarnya cepet atau nggak’, dll.

Mungkin, temen deket gue sadar – atau baru menyadari – bahwa gue terhitung jarang untuk memuji kemampuan orang di depan orang banyak. Bukan karena gue pelit pujian atau nggak mau mengakui kemampuan orang-orang. Tapi, gue takut ada orang yang sakit hati atau merasa sedih karena ngedengernya.

Bayangin, kalo lo adalah orang yang nggak pinter gambar. Dan, ada satu temen lo yang dipuji habis-habisan karena kemampuan gambarnya. Gimana rasanya?

Iri? Pasti. Bohong kalo nggak.

Dan seramnya, gimana kalo lo saat itu sedang berada pada puncak kebingungan karena ‘ketidak-mampuan’ elo. Bukankah itu malah akan membuat elo pesimis dengan terus-terusan bertanya, ‘kenapa gue nggak bisa gambar?’

Mungkin, kalo lo seperti gue – mahasiswa teknik – yang ‘dituntut’ untuk sebuah logika yang jalan dan kemampuan gambar seimbang. Tapi ternyata kenyataannya kemampuan lo berbanding terbalik dengan itu, pasti lo akan dibilang, ‘terus ngapain masuk teknik?’

Ingatlah lagi, masih banyak banget di dunia ini yang rumit dan nggak memiliki jawaban. Termasuk pertanyaan seperti itu. Karena bahkan, gue sendiri, di saat orang-orang nanya, ‘kenapa nggak masuk sastra atau jurnalistik? Kenapa masuknya TI?’ gue bingung untuk menjawab apa.
Bukan karena gue nggak memiliki jawaban. Tapi karena kalo gue jawab pun, orang nggak akan mengerti dengan jalan pikiran gue yang aneh.

Jadi, kalo elo adalah orang yang ‘biasa-biasa’ aja dalam menghitung atau menangkap pelajaran. Jangan biarkan perkataan orang-orang yang memandang sebelah mata elo karena kemampuan ‘rata-rata’ lo itu. Selalu ingat bahwa lo–pasti–memiliki satu kemampuan atau keunggulan yang orang lain nggak punya.
Kita nggak akan bisa menghentikan atau mengendalikan perkataan orang yang kita dengar. Tapi, perasaan dan jalan pikiran kita masih berada di bawah kendali kan?

And remember:
Khairunnasi anfa’uhum linnaas.”
Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat untuk yang lain.

*Iya, gue menulis ini sekaligus mengingatkan diri sendiri dan menyemangati diri sendiri. Semoga, yang sedang mengalami sedikit krisis atau kekesalan karena pandangan remeh orang ikut merasakan ketenangan yang gue rasakan setelah membaca ulang.

Selamat malam,

Rabu, 23 Mei 2012

Pada Kamu...



Aku jatuh cinta, pada kamu yang akan datang.
Pada kamu, jiwa dan raga yang belum memiliki nama dan wajah.
Tapi kenapa aku telah jatuh cinta pada bayanganmu dari masa kini? 
Pabrik pencipta senyum dan kebahagiaaan. 
Kamu adalah bahagia, yang akan membuatku lupa pada luka. 
Membuatku hanya mengingat tentang satu rasa.
Cinta.

Selasa, 08 Mei 2012

Attachment

"Why would I want to be attached to someone who doesn't want to be attached to me?"
- #Grey'sAnatomy
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 26 April 2012

Jangan Datang


Besok berangkat bareng? Gue jemput ke rumah, gimana?

Jemari perempuan itu langsung menari di atas qwertypad. Gerakan jemarinya diiringi dengan senyum yang terus mengembang. Merefleksikan isi hatinya yang semakin meletup-letup bahagia.

Boleh, lo mau jemput jam berapa?

Setengah 7 gue sampe rumah lo ya :)
See u, Nay... :)

:)

Malam itu, Naya tidur dengan tenang. Sangat tenang dan damai. Bahkan terbawa hingga ia kembali bangun.

**

Namun, dunia seperti sedang mempermainkannya.
Semalam, membuat hatinya bahagia dan tersenyum tiada henti. Namun sekarang malah mengubahnya menjadi sakit yang lebih nyata dari sebelum-sebelumnya.

Nay, sorry, tapi tiba-tiba Jenar bilang mau pulang hari ini
Jadi gue gak ke kampus ya, nitip soal tugas yaa :)
Sorry :(

Seharusnya, ia tidak boleh lupa. Bahwa perempuan lain yang lebih lama berada di hidup Raga belum pergi. Seharusnya, ia tidak boleh lupa bahwa letupan bahagia itu sangat mudah berubah menjadi letupan nyeri.
Kini, nyeri karena letupan hebat di hatinya tidak kunjung pergi. Ia masih dan terus terjaga hingga pagi kembali esoknya.
Naya kembali teringat dan sadar, bahwa ia tetap bukan prioritas utama cowok itu.

**

Mungkin, rindu dan cintanya tidak tertolak. Hanya saja, mereka bercabang.
Dan ada cabang yang lebih tinggi daripada kedudukan Naya saat ini. Ia hanyalah sebagian kecil dari cabang yang ada. Entah terlihat atau tidak. Mungkin bahkan, cowok itu pun tidak menyadari apa-apa bukan?
Lalu ponselnya berdering di jam 6 pagi. Di saat setiap orang sedang bersiap untuk menjalankan aktvitas mereka. Tak terkecuali Karin.

Gue jemput ya? 6.15 gue sampe rumah lo

Karin menggeleng begitu membacanya. Tidak boleh. Tidak boleh ada lagi bukti lain tentang Raga yang akan menomorsekiankan dirinya.

Jangan datang kalau kamu belum bisa pergi.

**

Solution.

"This is a problem that has a solution, Burke. There are a lot of problem that don't."
- #Christina #Grey'sAnatomy