(Part 1)
Jangan lupa gambar kalkir A2 harus di-ACC hari ini yah, asslab kita maunya hari ini
Naya menghela napas begitu selesai membaca sms dari Ardian, ketua kelompok untuk mata kuliah praktik menggambar tekniknya semester ini. Gambar kalkirnya yang sudah selesai digambar saja baru seperempat dari total gambar seharusnya. Dari empat lembar kalkir A2 yang harus digambar, ia baru menyelesaikan satu gambar yang selesai seratus persen. Sisanya? Paling-paling hanya garis tepi, etiket, dan gambar objeknya. Sedangkan garis ukur, dimensi, apalgi arsiran untuk gambar potongan. Sama sekali belum disentuhnya.
Dan waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Padahal, deadline-nya hari ini adalah jam tiga siang. Bagaimana ia bisa menyelesaikan sisanya jika waktu perjalanan ke kampus saja membutuhkan lebih dari satu jam?
Entah, haruskah ia membenarkan sikap malasnya pada situasi seperti ini dengan gambar yang belum selesai juga. Padahal, sudah lebih dari seminggu tugas ini diberikan. Tapi, kenapa empat lembar saja kalkir A2-nya belum kunjung selesai?
Padahal, pengerjaan gambar A4 dan A2 kertas HVS-nya dua minggu yang lalu tidak selama ini. Ia hanya membutuhkan waktu dua hari tanpa tidur untuk mengerjakannya. Memang sih, menggambar menggunakan kalkir dan rapido lebih rumit daripada gambar biasa menggunakan HVS dan pensil. Tapi, teman-teman se-kelompoknya saja, yang kebanyakan laki-laki, hanya memerlukan waktu tiga malam tanpa tidur. Lalu, kenapa ia – yang perempuan – seminggu saja belum selesai? Kesannya, seperti Naya pemalas saja. Padahal….
Gian.
Bolehkah Naya menyalahkan nama itu sehingga tugas gambarnya tidak kunjung selesai? Karena nama itu selalu saja tiba-tiba muncul di waktu Naya. Mungkin hampir tiap detik jika Naya tidak sedang berada dalam konsentrasi tinggi. Jika tidak? Sekali nama itu muncul, maka melenyapkannya kembali butuh berjam-jam. Bahkan mungkin, berhari-hari. Berlebihankah?
Bagi Naya tidak. Buktinya, sudah hampir seminggu nama serta wajah lelaki bernama Gian itu terus-menerus membanjiri pikirannya. Oh ya, dan jangan lupa beserta kenangan manis mereka pula.
Ah, harusnya gue ikutin kata Karin aja. Hubungin dia lagi setelah tugas besar gamtek ini selesai minggu depan.
Lalu, dengan cemas dan tidak fokus. Perempuan itu kembali mengecek ponselnya. Dan berharap ada balasan dari Gian. Dan sayangnya, lagi-lagi Naya harus menelan kecewa karena ponselnya tidak kunjung menampilkan pesan baru dari Gian.
Naya menghela napas berat. Lalu menyingkirkan jauh-jauh ponsel dari dirinya dan lembaran-lembaran kertas gambar kalkir. Berusaha untuk kembali, dan terus fokus pada gambarnya sampai gambar itu selesai seratus persen sebelum jam dua belas siang. Karena, percuma saja kalau gambarnya selesai tapi jam dua siang ia belum berada di kampus.
**
Akhirnya, tiga gambar sudah selesai total. Ah tinggal satu gambar lagi, batin Naya lelah. Satu gambar yang membutuhkan dimensi dan garis ukur. Rasanya, ingin ia skip saja gambar ini. gambar yang membutuhkan konsentrasi dan mata jeli untuk melihat setiap mili garis yang ditarik sebagai garis ukurnya.
Lalu Naya memilih untuk mengecek ponselnya terlebih dahulu. Berharap ada info bahwa deadline jumat siang ini ditunda sampai hari senin.
Ah, sayangnya nggak ada sms sama sekali dari Adrian. Hanya ada beberapa sms dari teman-temannya, lalu ia melirik jam sekilas. Dan ternyata sudah jam sebelas lewat. Naya mulai cemas, khawatir gambarnya tidak selesai juga. Namun, ketika ia mau meletakkan ponselnya kembali. Tiba-tiba ada pesan baru masuk.
Gue rasa, sebaiknya lo jalanin aja dulu hidup lo yg skrg. Lo gak perlu terjebak pada masa lalu yg serba tidak pasti di masa depan. Biarin aja smua masa lalu ada sbg kenangan, dan bukan kenyataan…
Naya langsung meletakkan ponselnya, sembarangan. Lalu mencoba untuk mengalihkan pikirannya dengan melanjutkan gambar terakhir yang tinggal sedikit lagi. Tapi nyatanya, percuma.
Seketika, sistem otak Naya kacau. Antara otak, otot, dan hatinya tidak ada yang sinkron. Yang lebih dominan adalah hati yang….hancur. Tidak mengijinkan otak untuk berpikir mengenai garis-garis mana saja yang harus ditarik. Berapa mili ukuran pastinya. Ia seperti anak kecil yang ingin menghitung, tapi tidak tahu bagaimana cara menghitung. Dimulai dari angka berapa? Satu, atau dua, atau tiga? Lalu dimana ia harus berhenti menghitung?
Lalu bagaimana dengan ototnya?
Jemarinya sama sekali tidak bisa memegang rapido dengan benar. Tidak bisa menggenggam supaya rapido itu tidak menarik garis yang salah, meluber, yang malah bisa menyebabakan gambarnya hancur sama sekali karena sifat tinta rapido yang permanen. Dan gambar dalam kalkir, sama sekali tidak boleh ada yang salah atau kotor.
Seketika, Naya bahkan seperti tidak tahu bagaimana ia bernapas. Apakah pada beberapa detik ia bernapas dengan benar dan baik? Ia bahkan, tidak tahu, bagaimana mengendalikan hatinya yang baik. Seperti selama satu tahun belakangan ini. Supaya tidak mengganggu otak dan otot yang sedang membutuhkan konsentrasi dan fokusnya. Bahkan, Naya malah seperti tidak berpikir apa-apa. Pikirannya kosong. Ia tidak memikirkan Gian, deadline kalkirnya yang tinggal tiga jam, garis mana saja yang perlu ditarik.
Yang Naya tahu, bahwa ada yang kesakitan. Ada yang berteriak memanggil otak untuk dihibur dengan pemikiran-pemikiran rasionalnya mengenai kenyataan.
Lalu ia menunduk, melihat ke arah sumber sakit. Ia pun akhirnya menemukan. Bahwa ternyata, hatinya-lah yang kesakitan. Meracau entah ke siapa dan karena apa. Semuanya serba tidak jelas. Gelap.
Karena bahkan, Naya masih tidak bisa berpikir ke arah manakah arti dari sms Gian itu? Memang, apa saja sih yang sudah ia ucapkan pada lelaki itu beberapa waktu yang lalu? Harus merasa apakah Naya dengan jawaban dari Gian itu?
Lalu, di menit selanjutnya. Ketika Naya memutuskan untuk menyingkirkan terlebih dahulu semua rapido dan lembaran gambar dihadapannya. Karena khawatir ada tetesan yang akan membuat gambarnya rusak. Naya baru menyadari sesuatu. Lama setelah ia membaca pertama kali sms Gian.
Dengan cara seperti ini-kah Naya harus tahu, bahwa tidak ada lagi kata ‘kita’ diantara dirinya dan Gian?
Berhenti sampai sinikah hubungannya dengan Gian?
Dan, apakah Naya rela dan mampu, untuk berhenti mencintai Gian sampai sini saja? Sampai titik dimana Gian memintanya untuk juga ‘berhenti’? Sama seperti lelaki itu yang sudah berjalan jauh meninggalkan masa lalu dan kenangan mereka?
Selanjutnya, Naya sadar, ada masalah lain yang sama sekali tidak bisa ditunda.
Sekarang sudah pukul dua belas lebih. Dan Naya harus segera bersiap untuk berangkat ke kampus. Dengan atau tidak selesai gambarnya.
Dengan atau tidak hatinya yang hancur berkeping-keping.
Dengan ia yang sama sekali tidak tahu kemana ia harus memungut kepingannya itu.
**