Sabtu, 20 Oktober 2012

Adalah Salah Satunya...


Lagu yang indah, adalah lagu yang akan terus terngiang di telingamu sekalipun kau tak sedang mendengarkannya.
Suaramu, adalah salah satunya.

Film yang menarik, adalah yang tiap framenya akan terus terbayang di otakmu sekalipun kau tak sedang menyaksikannya.
Gerakanmu, adalah salah satunya.

Buku yang menginspirasi, adalah yang kalimat-kalimatnya yang akan terekam di otak sekalipun kau tak sedang membacanya.
Ucapanmu, adalah salah satunya.

Lukisan yang menakjubkan, adalah yang paduan warnanya akan terus membekas di penglihatanmu sekalipun kau tak sedang menatapnya.
Senyumanmu, adalah salah satunya.

Ciptaan Tuhan yang sempurna, adalah ia yang tanpa cela di muka, sekalipun kita tak tahu apa yang ada di dalamnya.
Dirimu, adalah salah satunya.

Rindu yang menggebu, adalah ia yang akan terus mengejarmu sekalipun kau sudah bertemu dengannya.
Merindukanmu, adalah salah satunya.

Cinta yang dalam, adalah ia yang akan terus di hatimu sekalipun kau tak memilikinya.
Mencintaimu, adalah salah satunya.

*maaf ya kalo masih ngaco dan asal. cuman mau menyalurkan 'kegilaan' gara2 Lee Seung GI nih *___*

Selasa, 16 Oktober 2012

#Rahasia

"Elo gak nunggu, atau berharap bahwa Raga putus?" 
Sudah banyak pertanyaan atau bahkan pernyataan serupa yang Karin dengar seperti pertanyaan Bayu ini. Namun, kali ini ia nggak lagi menanggapinya dengan senyum manis berisi harapan dan angan-angan. 
Dengan singkat, Karin menggeleng sambil tersenyum miris. 
"Lagipula, gue bukan satu-satunya, Bay." 
Bayu mengangkat alis kanannya. Karin kembali berkata, menjelaskan dengan alasan terrasional yang pernah mampir di otaknya. Dan bahkan mampu mengalahkan keinginan hatinya yang paling besar. 
"Gue bukan satu-satunya yang menunggu," Karin menghela napas sambil tertawa kecil, "gue bukan satu-satunya yang berharap nggak menjadi orang ketiga di antara Raga dan Jenar." 
Akhirnya Bayu mengatupkan mulutnya, berusaha memahami keadaan dan perasaan Karin yang sebenarnya tak jauh berbeda dengan miliknya. 
"Tiga tahun, ya?" Tanya Bayu yang membuat Karin langsung tersentak. Tiga tahun adalah waktu yang sangat panjang untuk dibayangkan. Namun nyatanya, ia sudah memiliki rahasia ini 'selama' itu. 
Karin mengangguk. Walau dalam hati ia ingin mengingkari bahwa perasaannya tak-terasa-'selama' itu. Bahwa ia berharap, kemarin ia jatuh cinta dan esok sudah mampu melupakan rasa. 
Bayu menggeleng-geleng nggak mengerti. "Tiga tahun, dan Raga bener-bener nggak menyadarinya?" 
Karin mengangkat kedua bahunya sambil tetap mencatat. 
"Elo yang kepinteran nyembunyiin, atau... Raga yang terlalu bego sih?" 
Kali ini Karin malah tertawa kecil setelah mendengarkan pertanyaan Bayu yang frustasi. 
"Bukan keduanya," Karin berusaha menjawab dengan isi hatinya sambil tetap mencatat, "gue dan dia, sama-sama terlalu bahagia karena jatuh cinta. Bedanya, kita nggak mencintai hal yang sama." 
Lengkungan di bibir Karin yang semula terbentuk hingga ke pipi kini menghilang. Lengkungan tersebut berubah menjadi sebuah garis lurus yang hanya ada di bibirnya. Tidak membentuk apapun kecuali kedataran. 
Ia barulah menyadari, tiga tahun adalah waktu yang terlalu lama untuk sekedar jatuh cinta dan saling nggak menyadari. 
Waktu, belum atau bahkan nggak pernah membuat dirinya dan Raga mencintai hal yang sama. 

Selasa, 02 Oktober 2012

Kereta Api Jam Lima


Ia masih saja bergeming.
Entah apa yang ia pikirkan selama enam belas menit ini semenjak aku memutuskan untuk duduk di sampingnya. Aku kehabisan akal dan juga kesabaran. Ingin memulai semuanya namun merasa egoku sebagai seorang perempuan pun terusik.
Kemudian aku ingat, ah, mungkin memang ia memilih diam. Bukan karena ia adalah seorang lelaki dengan sedikit kata. Tapi seingatku, semenjak kami bertemu delapan bulan lalu ia bukan lagi lelaki dengan sedikit kata. Ia sudah banyak berkata kepadaku. Bahkan kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah rangkaian kata yang biasa lelaki katakan kepada seorang perempuan. Kegombalan.
Sesak di dalam hatiku selama ini, selama enam belas menit sama sekali diabaikan ini yang kemudian menyadarkanku. Mungkin karena aku tak terbiasa diabaikan olehnya empat bulan lalu. Mungkin memang aku yang harus memulai.
Ia diam–lagi-lagi aku yang berspekulasi–mungkin karena menungguku berbicara. Menjelaskan apa yang terjadi empat bulan lalu.
“Kamu salah sangka, Be.”
“Mungkin gue salah sangka karena elo keterlaluan.”
Aku menjerit dalam hati. Kata-kata Abe kembali meremas hatiku yang sudah terluka dengan ketidakpeduliannya.
“Aku... Aku sama sekali...” otakku seperti nggak mengenal kata-kata.

**

“Maaf yah, Yu.”
Aku mengangguk namun lelaki di hadapanku berkata kembali. “Setelah semua yang gue lakuin, gue masih aja ngerepotin elo.”
“Lo jangan kebanyakan nonton FTV makanya. Drama banget tahu gak sih bawa-bawa gue segala.”
“Lagian cuman elo cewek yang bisa bikin dia jealous dan mikir.”
“Mikir kalo elo nggak mungkin khianatin dia kayak elo ngekhianatin gue?”
“Ayu...”
“Gue becanda.” Aku tertawa kecil sambil mengibaskan tangan.
Sepeninggal lelaki yang bukan hanya mengkhianatiku namun menghancurkan kepercayaanku juga. Sehelai mawar putih terbang dan mampir di telapak tanganku yang meraih pintung gerbang, hendak menutup pintu.
Abe berdiri lima meter di depanku. Malam memang menggelapkan penglihatanku untuk melihat wajahnya secara utuh. Namun, tatapan Abe tidak redup.
Ia menyala dan datar. Terlalu datar.
Sebuah datar terpilu yang pernah aku lihat.

**

“Udahlah, Yu. Gue udah mencoba ikhlas selama empat bulan ini. Kenapa lo malah ngungkit sekarang?”
“Karena kamunya juga nggak mau dengerin aku!” Aku mulai terisak. “Kalo bukan karena kamu harus nungguin kereta sekarang dan tempat ini terlalu ramai untuk malu-maluin aku. Kamu bakalan pergi juga kan semenjak aku duduk di sini?”
Kali ini Abe mulai bergerak. Ia menutup dan melipat koran yang dibacanya.
“Ayu...,” Abe mulai memanggil namaku. Cara Abe memanggilku saat ini mengingatkanku pada suara-suara Abe yang lembut memanggil namaku empat bulan lalu. Membuat aku semakin nggak berdaya karena merasa bodoh dan menyesal.
“Kamu adalah hal terindah yang pernah terjadi sama aku, Be...”
“Tapi elo malah naro gue di posisi yang nggak menyenangkan, Yu. Gue udah berusaha untuk mengikhlaskan elo. Jadi, kenapa elo malah muncul sekarang?”
Kali ini aku memilih diam. Energiku berada di samping Abe ternyata benar-benar terhisap hingga habis.
“Bagaimana pun juga, gue tetep berterima kasih ke elo, Yu.”
“Terima kasih?”
Abe nggak langsung menjawab, cowok yang kukangeni selama beberapa bulan itu malah berdiri. Ketika aku menatapi tubuh jangkungnya yang berdiri tegak di sampingku dengan penuh tanda tanya tersirat di dahi. Abe malah berkata, “Gue nggak akan mencapai apapun yang gue capai hari ini kalo lo nggak pernah begitu.”
Aku mensyukuri keputusanku beberapa detik lalu yang nggak mengikuti keingintahuanku untuk ikut berdiri dengan Abe. Karena ketika itu juga, aku langsung merasa persendianku lepas. Akibat dari hati yang ungu dan semakin lebam.
Cowok itu melambaikan tangan kepada seorang cewek dengan kemeja flower print berwarna cerah dan jeans serta postman bag berwarna coklat yang tersampir di bahunya. Rambut panjang cewek itu terkuncir rapih membentuk sebuah juntaian rambut yang bergerak-gerak seiring langkahnya.
Dengan kehadiran cewek itu, dan juga ingatanku pada kabar tentang keberhasilan Abe untuk menjadi salah satu utusan pertukaran mahasiswa enam bulan mendatang ke Washington DC.  Membuatku mengerti dengan maksud kalimat Abe sebelumnya.
Abe nggak melakukan pembalasan apapun kepadaku. Ia hanya menjalani hidupnya. Hidupnya yang tanpa aku.
Setelah semua yang kulakukan, setelah semua penyesalanku, mungkinkah aku dan Abe sama-sama pantas mendapatkan apapun yang kami miliki saat ini?
Aku tercekat. Dan hatiku semakin terhimpit mengingat rindu yang kusimpan berbulan-bulan namun nggak pernah usang ini.
“Be,” aku membuang jauh-jauh harga diri yang menahan keinginanku untuk mengucap rindu selama empat bulan ini. Di detik terakhir kesempatanku dengan Abe yang lebih kecil dari ukuran mikroba, “Did you ever miss me? Because I’ve missed you...a lot.”
Abe hanya menunda langkahnya untuk beberapa detik. Ia menengok dan menatapku. Kali ini tidak datar. Tidak ada kilatan kesal dan penyesalan di matanya.
“Semuanya cuman kenangan. Dan kenangan, tetaplah kenangan.”
Ia memang tidak menjawab. Namun, kalimat tersebut ternyata lebih dari sekedar menjawab rinduku. Namun juga menjawab pertanyaan-pertanyaanku yang lainnya.
Abe kembali berjalan tanpa menunggu respon apapun dariku.
Ia benar-benar berjalan tanpa menengok. Menuju sebuah kereta yang akan berangkat beberapa menit lagi.
Tepat di jam lima sore. Saat aku bertemu dengan Abe untuk pertama kalinya delapan bulan yang lalu.

**

Rabu, 12 September 2012

Berhenti



Berhenti merindukanmu, tidak membuatku berhenti ingin bertemu denganmu.
Berhenti berkhayal tentang masa depan yang denganmu, tidak berarti aku tidak pernah memimpikan atau menginginkanmu.
Berhenti bercerita tentangmu, tidak berarti aku acuh terhadap kabarmu.
Berhenti menghubungimu, tidak membuatku berhenti ingin bertukar kabar denganmu.

Tahukah kau, bahwa tidak ada kata ‘berhenti’ bagiku jika itu tentangmu?
Karena bagiku, waktu dan ruang akan selalu ada untuk kehadiranmu.

...

Karena berhenti menginginkanmu, tidak membuat aku berhenti mencintaimu.

Sabtu, 14 Juli 2012

Menunggu Matahari


Matahari di ujung sana–entah di batas yang mana–berpendar oranye. Indah. Menyalurkan sejuta kebahagian yang terangkum dalam satu tatapan yang terekam dalam memori.

Kenyamanan perempuan yang mengalungkan kamera SLR-nya semakin bertambah dengan genggaman hangat penuh proteksi dari seseorang di sampingnya. Sudah lebih dari 10 hari mereka menghabiskan waktu berburu senja di seputar Jakarta.

Jakarta. Memangnya banyak matahari terlihat cantik di kota yang tiada jeda dan ruang itu? Itulah yang terpikirkan oleh sang lelaki ketika perempuannya meminta perburuan senja di kota yang diselimuti polusi dan berhiaskan gedung berpuluhan lantai.

Tapi itulah yang sang perempuan idamkan. Berburu sesuatu yang tampak mustahil. Karena, senja tidak selalu berpulang pada batas langit dekat laut bukan? Baginya, binar senja akan selalu terpencar di mana pun. Selama langit terbebaskan dari mendung.

Di sela-sela gedung berpuluhan lantai juga di langit yang bebas dari bangunan, perempuan itu selalu menemukan senja yang cantik. Tempat tak terduga.

“Nih, lihat...” Jenar mengulurkan layar kameranya kepada Raga. Memamerkan keindahan senja yang tak pernah Raga percaya akan didapatkan di Jakarta. “Masih skeptis kalo senja nggak bisa indah di Jakarta?”

Raga tertawa begitu melihat jepretan senja yang malah terlihat sangat memesona di layar kamera Jenar. Entah kamera yang bagus, kemampuan teknik foto Jenar yang semakin lihai, atau, senja yang memang tetap tampak indah apa adanya. Tak memedulikan tempat.

“Aku bukan skeptis, cuman ragu aja senja bisa sebagus yang kamu lihat di Kuta atau pantai mana pun.”

“Matahari nggak selalu tentang gunung atau pantai, Sayang...”

Jenar kembali berjalan menyusuri jalanan Senayan yang sepi pejalan kaki. Namun tentu saja jalan raya sama sekali jauh dari sepi di Sabtu sore.

Tangan kanannya bolak-balik tombol next dan previous untuk menikmati jepretan senjanya selama lima belas menit terakhir. Salah satu foto favoritnya adalah foto yang diambil oleh orang yang mereka mintai bantuan lima menit lalu.

Tentu saja itu menjadi favoritnya karena objek foto tersebut.

Foto dirinya dengan Raga yang saling berhadapan dan tertawa. Jemari Raga menyusuri pelipasnya yang berkeringat dan poni yang semakin berantakan karena dirinya lupa membawa jepitan. Jenar masih merasakan hangat dan lembutnya tangan Raga di pelipisnya.

It’s beautiful, rite?” Jenar menunjukkan kepada Raga foto tersebut sambil menyenderkan sesaat kepalanya pada bahu Raga. Senyuman bahagia tapi malu terus-menerus terpancar dari wajahnya yang semakin berbinar.

Yes.” Raga mengangguk dan mempererat genggamannya, “as beautiful as you are, Jenar Mahesa Putri.”

**

“Temenin aku hunting sunset lagi, ya?” pinta perempuan itu manja pada lelaki yang bergerak cepat merapihkan tumpukan kertas begitu perempuan itu muncul di kamarnya.

Jenar membantu Raga merapihkan kertas-kertas dengan grafik, tabel, tulisan, dan rumus yang tak dimengerti si perempuan.

Tapi Jenar mengerti kenapa Raga mengerahkan seluruh waktunya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Bahkan harus merelakan waktu senggang yang sebenarnya ingin Raga luangkan untuk dirinya di akhir pekan.

Raga bersyukur bahwa Jenar mengerti. Dan mereka tak pernah berdebat untuk masalah pekerjaan.

Karena untuk Raga, semua hambatan yang dilaluinya selama hampir lima tahun ini adalah jalan yang ditempuhnya untuk menuju tujuan akhirnya. Tujuan utama yang sangat ingin segera dicapainya.

“Jangankan sunset. Aku bahkan pengen ngelihat sunrise sama kamu, Sayang.”


**

Dan tiba-tiba keindahan senja tak terlihat.

Ada awan mendung yang selalu menghalangi keindahannya. Membuat orang-orang yang terbiasa melihat senja akan melupakan keindahan. Senja semakin terlupakan.

Jenar pun semakin tak bisa menutupi kesedihannya. Berburu senja yang menjadi salah satu kegiatan favoritnya untuk mengisi waktu dan juga menghibur diri sudah lama hilang. Binar di wajahnya pun semakin meredup. Apalagi setelah menemukan messenger mesra yang masuk ke Blackberry Raga. Membuktikan kecurigaannya tentang Raga yang semakin menjauh. Karena pekerjaannya selama ini tak pernah memberikan jarak bagi Jenar. Sesibuk apapun lelakinya.

“Jangan, Ga.... Jangan...”

Akhirnya Jenar lebih dulu memohon ketika ia menyadari bahwa pertemuannya sore hari yang tanpa senja ini. Seperti sebuah momen untuk mengakhiri hari.

“Aku udah banyak berbohong, jenar... Aku nggak mau lagi berbohong lebih banyak.”

“Tapi... aku masih pengen hunting sunset dan lihat sunrise sama kamu, Ga...”

Dan Raga tak bisa berkata apa-apa lagi.

Ia menarik Jenar ke dalam pelukannya. Kemudian menggiring perempuan yang terisak itu masuk ke dalam mobil.


**

Senin, 28 Mei 2012

Maybe, it's about balancing...


Semakin ke sini, gue semakin sadar, kalo yang namanya kemampuan seseorang nggak selalu tentang pinter ngitung ataupun gambar. Masih banyak – banyak banget – kemampuan lain non-akademik dan seni yang menjadi keunggulan seseorang.

Dan, betapa kasihannya orang-orang yang nggak punya keunggulan atau kemampuan rata-rata eksakta dan gambar yang mengambil major kayak gue (TI). Harus berjuang keras melawan ego karena under estimate orang-orang dan kemampuan di bawah rata-rata untuk bisa survive.

Nggak usah ambil contoh jauh-jauh ke orang.

Gue sendiri pun mengalami. Karena dari dulu – dari jaman pelajaran seni atau KTK jaman SD – gue sadar banget kalo kemampuan seni gue rendah. Dan itu terus berlanjut ketika SMP dan SMA di mana gue harus bisa ‘kaligrafi’. Mungkin, temen-temen gue yang tahu kemampuan gue dan melihat kaligrafi gue ‘ngetawain’ diam-diam. No problem J

But just please remember, you don’t know how it feel, rite ? J

Gimana nggak enaknya di saat orang-orang bisa nyelesein tugas yang hanya bikin ‘alif’ dengan sangat baik sedangkan gue setengah mati membuat tugas gue terlihat seperti ‘alif’ ?

Iya, gue memang separah itu.

Satu-satunya seni yang bisa gue anggap sebagai kemampuan seni adalah seni merangkai kata-kata yang masih sangat harus terus diasah. Gue – sekarang - bukan  seseorang yang excellent dalam menulis. Tapi gue percaya, satu saat, kalo gue masih terus menggenggam kemampuan dan kemauan gue untuk belajar. Kata mendekati excellent akan gue capai.

And I see people – even sometimes my-self, keep under-estimating others.

Ironiknya, hanya berdasarkan pada ‘dia bisa ngitung atau nggak’ , ‘dia gambarnya bagus atau nggak’, ‘dia belajarnya cepet atau nggak’, dll.

Mungkin, temen deket gue sadar – atau baru menyadari – bahwa gue terhitung jarang untuk memuji kemampuan orang di depan orang banyak. Bukan karena gue pelit pujian atau nggak mau mengakui kemampuan orang-orang. Tapi, gue takut ada orang yang sakit hati atau merasa sedih karena ngedengernya.

Bayangin, kalo lo adalah orang yang nggak pinter gambar. Dan, ada satu temen lo yang dipuji habis-habisan karena kemampuan gambarnya. Gimana rasanya?

Iri? Pasti. Bohong kalo nggak.

Dan seramnya, gimana kalo lo saat itu sedang berada pada puncak kebingungan karena ‘ketidak-mampuan’ elo. Bukankah itu malah akan membuat elo pesimis dengan terus-terusan bertanya, ‘kenapa gue nggak bisa gambar?’

Mungkin, kalo lo seperti gue – mahasiswa teknik – yang ‘dituntut’ untuk sebuah logika yang jalan dan kemampuan gambar seimbang. Tapi ternyata kenyataannya kemampuan lo berbanding terbalik dengan itu, pasti lo akan dibilang, ‘terus ngapain masuk teknik?’

Ingatlah lagi, masih banyak banget di dunia ini yang rumit dan nggak memiliki jawaban. Termasuk pertanyaan seperti itu. Karena bahkan, gue sendiri, di saat orang-orang nanya, ‘kenapa nggak masuk sastra atau jurnalistik? Kenapa masuknya TI?’ gue bingung untuk menjawab apa.
Bukan karena gue nggak memiliki jawaban. Tapi karena kalo gue jawab pun, orang nggak akan mengerti dengan jalan pikiran gue yang aneh.

Jadi, kalo elo adalah orang yang ‘biasa-biasa’ aja dalam menghitung atau menangkap pelajaran. Jangan biarkan perkataan orang-orang yang memandang sebelah mata elo karena kemampuan ‘rata-rata’ lo itu. Selalu ingat bahwa lo–pasti–memiliki satu kemampuan atau keunggulan yang orang lain nggak punya.
Kita nggak akan bisa menghentikan atau mengendalikan perkataan orang yang kita dengar. Tapi, perasaan dan jalan pikiran kita masih berada di bawah kendali kan?

And remember:
Khairunnasi anfa’uhum linnaas.”
Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat untuk yang lain.

*Iya, gue menulis ini sekaligus mengingatkan diri sendiri dan menyemangati diri sendiri. Semoga, yang sedang mengalami sedikit krisis atau kekesalan karena pandangan remeh orang ikut merasakan ketenangan yang gue rasakan setelah membaca ulang.

Selamat malam,

Rabu, 23 Mei 2012

Pada Kamu...



Aku jatuh cinta, pada kamu yang akan datang.
Pada kamu, jiwa dan raga yang belum memiliki nama dan wajah.
Tapi kenapa aku telah jatuh cinta pada bayanganmu dari masa kini? 
Pabrik pencipta senyum dan kebahagiaaan. 
Kamu adalah bahagia, yang akan membuatku lupa pada luka. 
Membuatku hanya mengingat tentang satu rasa.
Cinta.

Selasa, 08 Mei 2012

Attachment

"Why would I want to be attached to someone who doesn't want to be attached to me?"
- #Grey'sAnatomy
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 26 April 2012

Jangan Datang


Besok berangkat bareng? Gue jemput ke rumah, gimana?

Jemari perempuan itu langsung menari di atas qwertypad. Gerakan jemarinya diiringi dengan senyum yang terus mengembang. Merefleksikan isi hatinya yang semakin meletup-letup bahagia.

Boleh, lo mau jemput jam berapa?

Setengah 7 gue sampe rumah lo ya :)
See u, Nay... :)

:)

Malam itu, Naya tidur dengan tenang. Sangat tenang dan damai. Bahkan terbawa hingga ia kembali bangun.

**

Namun, dunia seperti sedang mempermainkannya.
Semalam, membuat hatinya bahagia dan tersenyum tiada henti. Namun sekarang malah mengubahnya menjadi sakit yang lebih nyata dari sebelum-sebelumnya.

Nay, sorry, tapi tiba-tiba Jenar bilang mau pulang hari ini
Jadi gue gak ke kampus ya, nitip soal tugas yaa :)
Sorry :(

Seharusnya, ia tidak boleh lupa. Bahwa perempuan lain yang lebih lama berada di hidup Raga belum pergi. Seharusnya, ia tidak boleh lupa bahwa letupan bahagia itu sangat mudah berubah menjadi letupan nyeri.
Kini, nyeri karena letupan hebat di hatinya tidak kunjung pergi. Ia masih dan terus terjaga hingga pagi kembali esoknya.
Naya kembali teringat dan sadar, bahwa ia tetap bukan prioritas utama cowok itu.

**

Mungkin, rindu dan cintanya tidak tertolak. Hanya saja, mereka bercabang.
Dan ada cabang yang lebih tinggi daripada kedudukan Naya saat ini. Ia hanyalah sebagian kecil dari cabang yang ada. Entah terlihat atau tidak. Mungkin bahkan, cowok itu pun tidak menyadari apa-apa bukan?
Lalu ponselnya berdering di jam 6 pagi. Di saat setiap orang sedang bersiap untuk menjalankan aktvitas mereka. Tak terkecuali Karin.

Gue jemput ya? 6.15 gue sampe rumah lo

Karin menggeleng begitu membacanya. Tidak boleh. Tidak boleh ada lagi bukti lain tentang Raga yang akan menomorsekiankan dirinya.

Jangan datang kalau kamu belum bisa pergi.

**

Solution.

"This is a problem that has a solution, Burke. There are a lot of problem that don't."
- #Christina #Grey'sAnatomy

...Feel Real

"Maybe we like the pain. Maybe we're wired that way. Because without it, i don't know, maybe we just wouldn't feel real."
- #Meredith #Grey'sAnatomy

Menunggu Hujan



Tentang mereka yang terpaksa berpisah. Atas nama jarak.

“Jadi, ada orang lain?”
Gadis itu merapihkan ratusan lembar kertas yang ada di depannya. Memasukkan kertas-kertas yang membuatnya tidak tidur selama lebih dari dua bulan ke dalam map plastik cokelat.
Setelah selesai dengan kertas sedangkan masih belum ada juga sahutan dari lelaki yang duduk di hadapannya. Ia beralih ke paper bag. Merapihkan apapun yang dapat dijangkau oleh tangannya.
Lelaki di hadapannya itu meringis. Merasa bodoh dan hina karena pertanyaan gadis itu. Ia yang sejak dulu membangga-banggakan gadis itu sebagai gadis-nya, kini malah memberikan satu lubang hitam di dalam hidup gadis itu. Selama lebih dari 1000 hari ia berusaha dengan sepenuh hati dan gembira memberikan jutaan warna dalam hidup gadis itu. Kini ia malah mengaburkan semuanya. Perlahan. Hingga kemudian menjadi lenyap.
Akhirnya lelaki itu memilih untuk mengangguk terlebih dahulu. Sementara otaknya berputar-putar untuk memikirkan urutan huruf-huruf yang akan diucapkannya.
“Kamu juga ada kan? Jadi, untuk apa kita terus-terusan bohong dan menyakiti diam-diam?”
Gadis bernama Jenar itu mengangguk. “Iya, ada.”
Lelaki bernama Raga itu mendesah. Melepaskan sebagian khawatir dan perasaan bersalahnya.
“Tapi aku nggak kayak kamu yang dengan seenaknya mendekati atau membalas perhatian orang itu.”
Perasaan bersalah dan khawatir yang dikeluarkan Raga tadi, seolah kembali masuk ke dalam hatinya. Kali ini lebih sesak dan memburu hatinya. Jika hatinya menolak, perasaan itu malah akan membalas dengan kecepatan yang kalah lebih cepat dibanding kecepatan cahaya di hampa udara. Perasaan bersalah itu tidak seperti cahaya yang berkejaran di dalam hampa udara. Tapi ia membaur dengan satu perasaan puncak atau pusat di dunia ini. Yang membuat semua orang rela melakukan apapun. Yang membuat setiap orang dapat terlihat dungu dan bodoh. Juga buta dan khilaf. Yang mampu menggerakkan siapapun yang malas menjadi rajin dan semangat.
Pusat itu bernama cinta.
Raga ingin menjelaskan kepada Jenar bahwa kedekatannya dengan perempuan itu tidak pernah direncanakan. Bahwa ia tidak pernah berniat untuk mengakhiri hubungan mereka seperti ini.
Tapi akhirnya Raga memilih diam. Malah membiarkan Jenar tetap berada dalam kesalahpahaman yang entah kapan akan ia luruskan. Mungkin memang tidak perlu. Mungkin Jenar akan mengerti dengan sendirinya. Dengan kehadiran lelaki lain itu di dalam kehidupannya.
“Maaf.”
Akhirnya hanya satu kata itu yang mampu diucapkan oleh bibirnya. Sebuah permintaan singkat namun juga tulus. Ia ingin melakukan apapun untuk menebus sebuah tindakan yang Jenar anggap sebagai kesalahan namun baginya tidak. Namun raga juga tahu, bahwa Jenar tidak akan pernah mampu menerima apapun darinya.
“Aku pulang.”
Jenar tidak menjawab ataupun membalas permintaan maaf Raga. Maaf yang dilontarkan Raga seperti mengambang di udara. Dibiarkan Jenar menari-nari di sekitar kepala Raga. Membuat cowok itu semakin bingung.
Cewek itu akhirnya berdiri sembari membawa tote bag dan juga paper bag yang berisi map dan berkas lain miliknya.
Just so you know, nama kamu tetep akan ada di skripsiku. Sekalipun kamu udah menyia-nyiakan kedatanganku ke Jakarta hanya untuk ini.”
Lalu Jenar pergi, meninggalkan perasaan bersalah yang memburu Raga. Perasaan bersalah karena menghadapkan perempuan itu kepada patah hati.
Namun, ia lebih tidak tega dan mampu untuk berbohong. Jika itu yang orang-orang maksud dengan white lies: untuk membiarkan Jenar tenang dan bahagia dengan kebohongan.
Kemudian, Raga melakukan hal terakhir yang ingin ia lakukan untuk Jenar. Untuk meminta maaf.
Berdoa.
Hal itulah yang hanya mampu dilakukannya ketika ia tahu Jenar akan menolak apapun ketulusannya setelah ini. Ia mendoakan dalam hati untuk kebahagiaan Jenar. Dengan siapapun dan apapun kebahagiaan itu Jenar dapatkan.

**

Tentang mereka yang tak mampu mengelak perasaan. Karena jarak...
I’m feeling bad for Jenar.”
Perempuan itu menggesekkan kuku-kuku tangannya. Napasnya mulai tak teratur. Selain karena angin berhembus dari pendingin udara, mendinginkan udara di dalam mobil itu. Namun juga karena segenap perasaan bersalah itu masih menetap.
I’m scared of Karma, Ga. Aren’t you?
Raga menatap perempuan di hadapannya. Perempuan yang mampu menghapus wajah Jenar di bulan-bulan terakhir ini. Perempuan yang suaranya selalu ingin didengarnya. Perempuan yang omelan dan kecerewetannya tentang makan dan belajar yang selalu dia rindukan jika mereka tak bersama, di saat weekend.
Perempuan ini bernama Karina Putri Wicaksana.
Perempuan ini yang mampu membuatnya jatuh cinta lagi di saat ia sedang mencintai Jenar.
Tidak, Raga tidak pernah berniat untuk selingkuh. Bukan juga karena dia jenuh berhubungan jarak jauh dengan Jenar yang berada di Bandung sedangkan ia di Jakarta. Jarak sebanyak 400-an km selama 3 tahun ini berjalan mudah atas nama cinta. Paling-paling rindu menggerogoti pikiran dan akan membuat bayangan wajah Jenar selalu muncul di bayangannya jika rindu sudah akut.
Semuanya, berhubungan jarak jauh dengan Jenar selama ini hampir mudah.
Lalu semua terasa sulit ketika seseorang bernama Karin masuk ke dalam kehidupannya. Lalu perlahan memasuki hatinya dan mengaburkan wajah Jenar ketika ia merindukan seseorang.
Wajah itu berganti. Bukan lagi Jenar. Tapi perempuan di hadapannya ini.
“Karma won’t hit you as long as you don’t try to ruining others...” Raga mengucapkan kalimat itu sembari mengambil jemari Karin dan menggenggamnya di atas tongkat persnelling tepat ketika lampu merah menyala.
 Ia tahu bahwa Karin resah. Ia pun begitu. Perasaan bersalah meninggalkan Jenar meninggalkan resah. Tapi, tidak akan ditunjukkannya kepada Karin. Permasalahan dengan Jenar, cukuplah dirinya saja yang menghadapi.
“Tapi aku yang selalu berusaha untuk deket sama kamu.”
“Tapi kamu nggak berusaha untuk menjauhkan aku dengan Jenar kan? Kamu nggak berusaha untuk menyita waktu dan perhatian aku untuk melupakan Jenar kan?”
Karin mengangguk.
Bagaimana mungkin ia bisa lupa pada rasa sakit setiap Raga berteleponan singkat namun mesra di depannya? Ketika ia tak sengaja melihat barisan kalimat dari conversation mereka di pesan singkat. Ketika ia menemani Raga untuk mencari hadiah ulang tahun Jenar dan anniversary Jenar-Raga?
Mereka hanya bersama. Dan menikmati semuanya.
Karin sadar bahwa dirinya telah membuat orang lain memasuki fase yang paling tidak enak dalam kehidan ini. Patah hati, ditinggalkan. Tapi jika ia disalahkan atas semua ini, ia pun tidak akan pernah rela.
Kenapa kalian salahkan aku dan bukan jarak?
Adakah orang yang menginginkan jatuh cinta kepada orang yang cintanya telah dimiliki oleh orang lain? Karin akan menjawab tidak.
Namun begitu tangannya dengan tangan Raga bertautan. Bersatu dalam dinginnya AC mobil. Segenap perasaan bersalah dan kekhawatirannya lenyap.
Lalu ia melirik pada langit yang tidak mendung namun juga tidak cerah.
Karin teringat pada perkataan orang tentang hujan adalah pembawa berkah. Bahwa hujan adalah salah satu tanda di mana semua kegiatan yang sedang dilakukan seolah mendapatkan restu dari bumi dan langit.
Maka, ia memohon pada hujan untuk membawa berkah dan memberikan restu kepadanya. Kepada Raga, dan cinta mereka.

**

Satu nama yang terpampang di layar pengirim pesan singkat ponselnya membuat perempuan itu tercenung.
Setelah semua penolakannya yang berjumlah ratusan selama setahun ini. Mengapa baru sekarang ia merasa bersalah?
Mungkin, ini adalah awal yang telah Raga lakukan kepada Karin. Berusaha untuk menghargai dan melihat ketulusan orang lain. Mungkin, Raga memang tidak pernah berniat untuk mengkhianatinya mengingat bagaimana ramahnya ia kepada semua orang.
Tapi siapa sangka, jarak dan waktu membuat orang menjadi khilaf dan berbuat salah?
Namun, jika memang ini adalah jalan terbaiknya. Jenar tak menginginkannya sebagai sebuah kebahagiaan yang harus didapatkannya setelah berbuat salah.
Ia bergerak perlahan. Memastikan niat dan keinginannnya sehingga tidak akan ada korban patah hati yang baru.
Gue juga lagi di Jakarta. Lagi di Town Square nih. Wanna meet me here?

**

Jenar hampir tidak pernah menyukai hujan.
Selama ini ia membenci hujan yang mengotori sepatu-sepatu kesayangannya. Ia membenci hujan yang membasahi dan meninggalkan noda pada jeans kesayangannya. Ia membenci musim hujan yang membuatnya harus selalu membawa payung jika berpergian.
Namun saat ini adalah kali pertamanya ia mengharapkan hujan turun. Dengan lebih cepat dan lama. Supaya ia mampu mendengarkan isi hatinya lebih lama. Supaya ia mampu meresapi isi hati orang di sampingnya lebih lama. Menyadari dan mengakui bahwa mungkin ia yang terbaik.
“Okey, udah sampe...”
Dan saat itu, butiran uap air turun dengan perlahan dan kemudian menjadi deras.
Jenar tersenyum.

**

Raga tersenyum.
Lega bahwa Karin mempercayai dirinya juga dirinya sendiri. Bahwa perempuan itu tidak pernah merebut siapapun. Bahwa kenyataan cintanya tidak menjadi tidak bertepuk sebelah tangan adalah takdir yang indah namun perlu kerumitan di awalnya.
Lalu Raga mengulurkan tangan kirinya kemudian menggenggam tangan kanan Karin yang terkena ciprat air hujan.
Mereka berdua sama-sama merasakan tenang dan damai luar biasa.
Sekalipun angin dan hujan begitu ribut.

***

Senin, 23 April 2012

NCIS Quoets

"I know there are 3 billions men in this world. And they don't have to want me, but you, you have to want me..."

#NCIS *someone said to Gibs*

Jumat, 20 April 2012

Tribute To Mocca : 2nd Edition


Karya terbaik adalah karya yang bisa menginspirasi orang lain untuk menjadi kreatif. Dan lagu-lagu Mocca adalah salah satu karya dengan karakter terbaik ini. - Ollie, Penulis
 
Saya sangat terharu dan tersanjung ketika mendengar tentang Tribute to Mocca, sebuah kumpulan cerita yang diinspirasi dari lagu-lagu Mocca, ini adalah bukti bahwa karya kami benar-benar diapresiasi, dihargai dan dicintai. - Arina Ephipania, Vokalis
 
Tribute to Mocca : 2nd Edition adalah bentuk penyempurnaan dari Tribute to Mocca : 1st Edition. Dikemas dengan lebih apik, tidak hanya berisi tulisan tapi juga ilustrasi. Ditambah bonus beberapa cerita dengan tampilan baru, yang diyakini dapat menarik perhatian para penggemar Mocca sekaligus para pembaca buku.
 
Ini adalah bentuk transfer informasi dan energi yang sangat positif, di mana Mocca memberikan inspirasi melalui karya kepada publik berupa lagu, dan publik merasakan trigger, dan reaksi dari inspirasi itu menjadi sebuah karya baru berupa karya tulis.  - Angkuy Bottlesmoker, Musisi
 
Bekerjasama dengan nulisbukudotcom (@nulisbuku), hadiah kecil untuk Mocca ini akan dirilis pada tanggal 21 April 2012 dengan cara membuka pre-order melalui e-mail pemesanan.
 
Untuk informasi lebih lanjut, sila hubungi koordinator proyek di akun Twitter @naluriii dan @nindasyahfi atau e-mail tributetomocca@yahoo.com
 
Salam,
 
Swinging Writers