Senin, 30 Januari 2012

Hati yang Kembali

Kita sudah menghirup udara yang sama, Sayang. Apakah cinta dan rinduku telah sampai melalui setiap oksigen yang kauhirup?

Kamu mengeja setiap kata itu dengan lembut. Melalui jaringan telepon seluler yang cukup baik untuk menyampaikan kabar baik itu. Kedatanganmu di Jakarta siang hari yang sayangnya aku tidak bisa menjemputmu karena meeting penting dengan jajaran direksi perusahaan tempat aku bekerja.

Dan kalau tidak salah dengar, ada getar tersembunyi di setiap kata yang kauucapkan.

Getar hebat yang berusaha kau sembunyikan agak tak sampai di gendang telingaku dan menyampaikannya ke otak. Namun kau gagal. Getar itu sampai ke otakku dan menghasilkan gelombang yang aneh dan tak menentu ke hati.

Kepulanganmu dari sebuah negeri di benua Eropa itu tidak hanya menciptakan kebahagiaan bagiku. Tapi resah ikut bersamanya.

Kepergianmu sudah lebih 3 tahun, Sayang...

Aku sadar, pasti akan banyak perbedaan yang terjadi dalam hidup kita. Bahkan, diri kita sendiri. Aku tidak berharap bahwa kamu tetap seperti dulu. Tapi tolong, satu itu saja yang bertahan dan tetap. Hatimu.

Jangan kau ubah untuk siapapun. Untukku saja ya?

Aku tidak meminta miniatur eiffel yang kaujanjikan. Tidak juga branded things asal Paris sebagai oleh-oleh yang kautanyakan kepadaku melalui jaringan telepon.

Aku hanya meminta kau membawa kembali hatimu yang dulu kaubawa untuk menjelajahi dan belajar di kota romantis itu. Cukup. Bawa saja ia kembali dalam bentuk dan arti yang sama ya?

Tapi ternyata, kau membawakanku satu cinderamata yang kauberikan di pertemuan pertama kita. Benda itu indah memang. Namun, menggenggamnya sekalipun tidak kuat menciptakan perih. Tubuhku pun bergemetar mengetahui makna dibalik pemberian hati ini.

Miniatur hati dari kerang berwarna abu-abu–yang tidak kuketahui jenisnya. Ada sebuah tulisan yang ternyata kau tulis di hati itu.

Ini adalah hatiku yang dulu kubawa pergi. Sudah kuberikan padamu ya?

Aku terdiam. Tetap berdiri di tengah keramaian taman kota. Menatap punggungmu yang semakin menjauh dari hadapanku setelah mengucapkan kata perpisahan dan permintaan maaf. Lalu, pandanganku turun ke bawah. Tanganmu yang menggenggam tangan kiri di mana sebuah cincin berlian melingkar di jari manisnya.

Jumat, 06 Januari 2012

Memuja.

Aku menghirup aroma kuah mie instan yang menguap.

Kali ini dengan penuh nikmat, tidak lagi dengan rasa cemas seperti dulu. Kali ini aku tidak lagi memedulikan fakta bahwa mie instan tidak baik bagi kesehatan. Mengacuhkan peraturan kesehatan padahal aku adalah salah satu dokter muda lulusan dari universitas negeri terkenal.

Aku juga lagi tidak memedulikan tentang asap tembakau yang biasanya kubenci – setengah mati. Namun, ada beberapa saat di mana aku tidak memedulikan hal-hal yang kubenci. Seperti mie instan dan rokok.

Saat itu adalah di mana ia berada. Semua yang kubenci selalu mengumpul di satu tempat yang kupuja. Kucinta.

“Sejak kapan kamu mau makan mie instan?” kamu bertanya lengkap dengan kerutan di dahinya ketika aku ikut memesan mie kuah instan di kantin kampus. Menemanimu melahap mie dan kuahnya yang menguap di tengah dingin malam selepas praktek kami beberapa tahun lalu.

“Sejak tahu kamu suka makan mie instan.”

Dan kamu hanya tertawa mendengar jawabanku. Menganggapnya konyol.

Lalu akhirnya kamu menyesap perlahan tembakaunya setelah isi mangkok kaulahap cepat. Mengacuhkanku yang kesulitan bernapas dan mengibas-ngibaskan tangan untuk mengusir kepulan asap dari wajah.

Sejatinya, aku tidak merasa terganggu karena sikapmu yang merokok di hadapanku padahal kautahu aku membenci tembakau karena selalu membuat sesak pernapasan dan kenyataan bahwa perokok pasif malah lebih berisiko terkena penyakit daripada pelakunya sendiri.

Namun, kali ini aku membenci rokok untuk alasan yang berbeda. Kenapa rokok yang selalu menjadi tempatmu ‘pulang’ ketika letih dan penat? Kenapa rokok yang menjadi tempatmu berlabuh?

Kenapa kamu tidak berlabuh kepadaku saja, Sayang?

Aku bertanya di malam itu, malam yang membuatku resah namun menikmati. Setelah menyadari kehadiran debar yang tak seharusnya. Dan memutuskan ikut menikmati saja. Termasuk mie instan dan asap tembakau.

Aku tidak mengingkari. Aku hanya tak ingin ada yang merasa tersakiti. Termasuk hatiku sendiri. Karena aku sadar, akhir dari semuanya adalah – kita hanya akan saling menyakiti karena kepercayaan masing-masing.

Walau akhirnya, beberapa bulan setelah malam itu kita tetap memutuskan untuk melupakan segalanya. Tentang status dan aturan-aturan mutlak yang tak pernah boleh dan bisa dilanggar. Dan tetap mengucap cinta. Lalu berkecupan mesra di bawah rintik hujan. Tempat di mana aku dapat menyembunyikan isak. Tangis karena khawatir.

Karena aku tahu, sekalipun kita saling menyayangi dan melewatkan ratusan hari bersama. Namun roda hubungan kita tidak akan membawa kita berpindah tempat. Ia hanya berputar di tempat. Tidak membawa kita ke mana-mana. Kamu pun tahu itu bukan, Sayang?

Lalu, kenapa kamu tetap mengeja cinta kepadaku?

“Aku mencintaimu, Sharina.” katamu di satu malam seusai menonton bioskop.

“Kamu hanya salah sangka pada hatimu sendiri,” elakku cemas.

Lalu kau malah menggeleng kuat dan meyakinkanku. Aku pun tahu kamu sebenarnya cemas bukan?

“Hentikan, Than. Kamu tahu kan aku nggak mau mengkhianati-Nya?”

“Lalu, kamu akan mengkhianati hatimu sendiri?”

Aku terpekur. Menatap matamu yang menguarkan kecemasan di bawah campuran sinar rembulan dan temaram lampu halaman rumahku.

Aku membodohi diri sendiri. Membodohi aku yang terpesona pada lelaki yang sedang menggenggam tanganku. Siap merengkuh tubuh mungil ini ke dalam pelukannya untuk melenyapkan resah.

Lalu, akhirnya aku menyerah. Menyerah karena pesona Nathan dan cintaku. Aku tak siap untuk kehilangan hari-hari penuh warna denganmu. Perasaan ini masih terlalu kuat untuk ditolak.

Padahal, seharusnya aku sadar bahwa menyerah bukanlah kata yang tepat. Karena sampai kapanpun tidak akan ada yang berubah.

Kita memang saling memuja. Aku memujanya dan kau pun memujaku. Sayangnya, kita tidak memuja Tuhan yang sama.

Hingga waktu berjalan dan hubungan kita tidak pernah diketahui oleh siapapun. Oh, maksudnya oleh keluarga masing-masing.

Kita memang bukan berasal dari keluarga yang sangat menaati agama. Namun, keluar dari keyakinan itu pun sangat bukan diri kita.

Hingga akhirnya, malam perpisahan itu tiba. Di mana esok ada lelaki lain yang akan mengucap ijab kabul untuk membawaku keluar dari rumah dan mengganti nama belakangku dengan namanya. Lelaki yang akan – dan memang – sangat diterima oleh keluargaku.

Dan sudah lebih dari setahun, semenjak kau tahu tentang kehadiran lelaki itu di antara kita. Kau menghilang.

Namun nyatanya kita bertemu malam ini. Di mana langit masih memuntahkan isinya ke bumi yang berupa butiran uap hari sejak sore hari. Mencuatkan suasana dingin dan beku.

Di antara kepulan asap kuah mie instan di bawah temaram lampu warkop favorit kita. Di antara ketiaknyamananku karena kepedasan akibar cabai rawit hijau yang dipotong kecil-kecil di mie. Tersembunyi dan menyerangku yang tidak kuat pedas.

Aku ribut sendiri karena kepedasan. Hampir menangis sementara kamu tetap bergeming di depanku. Dan aku hanya bisa meringis sendiri menyadari kamu mengacuhkan kehadiranku.

Padalah, di antara semua itu, aku menyembunyikan tangis karena rindu.

Padahal, besok adalah hari bahagiaku – seharusnya.

Tapi, bagaimana aku bisa bahagia jika ternyata orang yang akan mengucap ijab kabul besok pagi adalah bukan kamu, Sayang? Bukan dia yang ada di bayanganku selama ini. Tapi kamu, kamu yang ada di bayanganku untuk bersandingku di pelaminan penuh bahagia dan haru itu.

Ah, salahku. Salahku membayangkan itu kamu padahal kita tahu pasti tentang masa depan hubungan kita.

Dan dalam perpisahan ini, yang ingin kuucapkan bukanlah kalimat perpisahan. Karena itu mungkin akan semakin meninggalkan jejak butir tangis di wajahku. Maka kuucapkan saja kalimat berterima kasih dan cinta. Di mana aku berterima kasih karena diebri kesempatan untuk mencintaimu. Selama ratusan hari ini. Di tengah keraguan kita masing-masing namun tak mengingkari kehadira cinta.

Terima kasih, Sayang. Aku memang memujamu, mencintaimu. Tapi, aku memuja dan mencintai Tuhanku lebih dari apapun.

Rabu, 04 Januari 2012

Tahun Baru Keempat.

Tahun Baru 2011

Pergantian tahun sudah berlalu sangat lama. Kini hari bahkan sudah beranjak pagi. Aku melirik jam yang kembali berdentang, menunjukkan pukul 4 pagi. Dan seharusnya, aku sudah mulai bergerak mengambil air wudhu untuk menunaikan ibadah subuh.

Nyatanya, aku masih enggan beranjak.

Bukan juga karena merasa masih penat setelah membersihkan sisa-sisa acara pergantian tahun. Walau memang hanya perkumpulan keluarga, tapi dengan isi kegiatannya memasak berbagai makanan bagaimana mungkin tidak seru?

Bukan juga karena novel di pangkuan belum tuntas kubaca.

Namun, menyadari ada yang mengganjal di hati dan menyisakan pedih. Bahagia di sana hanya tinggal seujung kuku dari kepedihan yang totalnya setelapak tangan.

Dan aku masih kebingungan bagaimana melenyapkan pedih ini. Pedih karena ketidakmengertianku tentang-nya.

Tentu saja maksud utamaku adalah 'kami'.

Batasan waktu menunggu itu pun sudah lama habis–seharusnya. Namun kalian tahu kan, bahwa menyuruh hati yang enggan berpindah itu sama sulitnya mendiamkan anak bayi yang menangis kencang.

Jadi, aku tetap memilih untuk menunggu dan tidak berpindah - setidaknya untuk saat ini.
Karena cinta - selalu - sanggup mengalahkan segalanya. Bahkan kejenuhanku karena diabaikan. Tepatnya, kepedihan.

Segera, aku meletakkan novel di atas meja belajar dan beranjak dari kasur. Lalu berjalan menuju kamar mandi yang terletak di luar kamarku. Melewati kumpulan saudara sepupu ( generasi ketiga ) dan para tetua generasi kedua yang belum tidur. Enggan melewatkan momentum perpindahan tahun yang selalu berarti baru.

Aku terhenyak. Seharusnya, perasaan dan 'menunggu' ini pun kuperbaharui. Bukan berarti mengganti seluruhnya dan aku tidak boleh 'menunggu'. Namun, objek tujuannya harus kuperbaharui. Bagaimana bisa segala resolusi dan wishlist sanggup kuperbaharui dari tahun ke tahun. Tapi untuk hati, tak pernah?

Ah, lagi-lagi tidak ada jawaban. Sama seperti beribu pertanyaanku tentang-nya. Keberadaanya, keadaannya, bahagianya, sedihnya, hati-nya. Kenapa juga, ia tidak 'pulang' ? Padahal sudah lewat dua tahun - tepat.

Parahnya, tidak pernah ada jawaban lagi. Dan aku, masih dengan bodohnya menunggu ia yang tak ingin pulang dan ditunggu.

Lalu, air wudhu yang menyapa kulit, dingin dan juga menyegarkan. Langsung saja menyadarkanku dari kebodohan.



Tahun Baru 2010

Ada yang hilang.

Satu tahun ini berlalu dengan berbeda… dan aneh. Dengan tidak biasa. Aku merasa seperti orang yang baru pindah rumah – asing dengan segalanya. Padahal, aku tidak pindah ke mana-mana.

Hanya tempatku menuntut ilmu yang berpindah. Tentu saja karena aku sudah lulus sekolah menengah umum dan harus melanjutkan ke perguruan tinggi. Dan aku berhasil masuk ke salah satu perguruan tinggi favorit di Jakarta. Ia–lelakiku–pun mendapatkan kesempatan yang sama. Namun tidak diambilnya karena ada kesempatan lain yang memang lebih menggiurkan. Kuliah di luar negeri. Tentu saja ia memilih yang kedua. Karena baginya, PTN favorit pun nyatanya tetap kurang cukup. Padahal, aku sudah merasa berlebih.

Dan aku tahu pasti apa yang hilang. Aku juga tahu ke mana ia pergi. Tapi mengembalikannya, aku tak pernah tahu.

Ah sudahlah, ia baru saja berlalu kok. Ke negeri seberang untuk masa depannya – yang lalu ia janjikan sebagai masa depan kami. Eh, kenapa aku menyebutnya ‘yang lalu’? seolah aku ragu dan pesimis dengan janjinya.

Apa mungkin, sebenarnya memang begitu?


Tahun Baru 2009

“Kamu bener-bener harus pergi besok?”

Cowok di hadapanku mengangguk lemah. Matanya menghindari tatapan memelasku. Tentu saja, ia takut terlena kembali pada permohonan ‘kecil’-ku untuk menunda keberangkatannya.

Meninggalkan Jakarta, Indonesia. Meninggalkan keluarga dan lingkungannya selama hampir 18 tahun. Juga meninggalkan aku.

Aku menghela napas sambil membuang muka ke pemandangan luar cafe. Pemandangan yang ramai dan indah. Semarak dengan berbagai orang yang lalu lalang. Tak luput di tangan mereka beraneka jenis terompet yang siap ditiup beberapa menit lagi.

Ah, tentu saja. Ini malam tahun baru. Semua orang bersuka cita menghadapi pergantian tahun. Meninggalkan masa lalu untuk menjemput pergantian yang baru. Semua orang – sepertinya – bersuka cita kecuali meja di sudut cafe ini. Tempat di mana aku dan Aldi – pacarku – duduk sejak sejam lalu.

Sejam sebelumnya, kami bersuka cita di antara kumpulan teman-teman Aldi yang juga teman-temanku. Teman-teman SMA terdekat kami. Menyembunyikan sedih di antara beberapa tawa yang tercipta dari acara perpisahan yang dirancang oleh salah satu teman dekat Aldi.

“Kamu percaya aku – kita kan, Ra?” Aldi menatapku lekat sambil menggenggam tanganku di atas meja. Ternyata, yang khawatir bukan hanya saja aku. Aldi pun merasakan gelisah yang sama.

Aku hanya mengangguk. Berusaha memercayai bahwa takdir tidak akan memisahkan aku dan Aldi dengan putusnya hubungan kami yang sudah berjalan lebih dari tiga tahun. Ini hanyalah masa transisi di mana aku dan Aldi yang terbiasa bersama, setiap hari bertemu di sekolah. Dan menghabiskan waktu dengan berbagai kegiatan kami. Menjadi hubungan jarak jauh yang rentan dengan berbagai kendala.

Masa transisi yang selalu tidak mudah dan menyenangkan namun akan selalu ada dalam hidup manusia.

Dan gelisah, selalu akan menyergap. Mungkin aku percaya, tepatnya berusaha memercayai. Namun, keraguan dan ketakutanku akan adanya transisi lain – berpisah sepenuhnya dengan Aldi – adalah mimpi burukku.

Bagaimana jika aku kangen Aldi? Secanggih apapun teknologi jaman sekarang. Berada dalam pelukannya langsung lengkap dengan menghirup wangi Aldi dan merasakan kehangatannya tidak terkalahkan bukan?

I love you. And I’ll always believe in us.


Saat itulah kembang api meledak di kegelapan langit. Menjadi penambah keramaian orang-orang yang bersuka cita malam ini. Ledakan itu begitu ceria dengan warna-warninya. Juga menjadikan ceria setiap orang yang melihatnya.

Di bagian yang lain, ada pula yang meledak-ledak tak karuan. Bedanya, ia tidak berwarna-warni ceria seperti kembang api di langit. Hanya ada satu warna. Hitam yang begitu gelap. Disitulah kegelapan meledak di hatiku.

Ledakan yang semakin mencerai-beraikan rasa tak karuan yang semula berkumpul di sebuah rasa bernama gelisah.

Kini bercerai-berai. Dan membuatku semakin tak karuan.

Ini adalah tahun baru. Semua orang merasakan suka cita. Seharusnya, aku pun begitu bukan?

Tapi, mengetahui bahwa esok adalah hari di mana jarak antara orang yang kaucintai akan melebar dan pastinya akan meninggalkan jejak kangen. Apakah mudah untuk bersuka cita?



Tahun Baru 2012

Semenjak pergantian tahun 3 tahun yang lalu. Malam pergantian tahun selalu berbeda-beda maknanya.

Ada saat di mana malam itu menjadi malam kegelisahanku karena takut kehilangan. Ada juga menjadi malam yang begitu kelam karena masih menunggu dengan bodohnya. Padahal e-mail, chatting, mention, dan komunikasi lainnya semakin berkurang intensitasnya.

Harusnya, saat itu juga aku menyadari tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Karena sudah saatnya aku melepaskan.

Namun, ketika kamu berada dalam kasmaran dan rindu yang meletup-letup. Bagaimana mungkin kan kamu akan berpikir sesimpel itu? Melepaskan. Karena hati akan selalu berusaha menarik kembali jangkarnya. Tetap bersemayam di sana dan tidak kemana-mana.

Karena, ada hal lain yang selalu tidak bisa menunggu dan dikontrol. Hal lain itu bernama rindu yang lebih menggugat daripada cinta.

Dan rindu memang selalu membuatku kembali. Lalu, menunggu dengan indahnya. Karena hanya cukup membayangkan rindu yang akan disapa oleh sang objek.

Padahal, inilah hidup. Ada yang datang dan pergi. Siklus selalu berganti dan aku – kita harus selalu sedia.

Ya... kenyataannya memang tidak semudah itu. Tapi, berlarut-laurt dalam kesedihan pun tidak baik.

Karena, ketika aku sudah rela. Aku menemukan pintu kebahagiaan lain. Lebih sederhana, tapi pasti dan ada. Tidak seperti Aldi yang selalu istimewa dan menawan, namun seakrang sangat sulit ditebak.

“Ngelamun, mulu!” aku tergelak menyadari gerakan lembut di ubun-ubun kepala. Mengacak-acak rambutku.

Aku merengut. Bukannya meminta maaf, ia malah tertawa.

Lalu, ia menarik kedua tanganku hingga semakin erat di dalam genggamannya. Dan bibirku pun langsung tertarik ke atas, sedikit-sedikit, tersipu karena melihat tawanya yang begitu menentramkan.

Dan, kembang api di langit gelap pun meledak. Seperti biasa, keindahannya menularkan kekaguman dan keceriaan untuk setiap orang yang menatapnya.

Namun kali ini aku merasa lebih dari itu.

Kembang api dengan berbagai warna seperti meledak di hatiku. Kali ini bukan warna gelap yang meresahkan. Namun, menentramkan.

Lalu kukecup jemarinya yang menggenggam tanganku dan langsung kunikmati wajahnya yang tersenyum.

Kami ada untuk bersimbiosis mutualisme dengan satu hal – cinta.