Tahun Baru 2011
Pergantian tahun sudah berlalu sangat lama. Kini hari bahkan sudah beranjak pagi. Aku melirik jam yang kembali berdentang, menunjukkan pukul 4 pagi. Dan seharusnya, aku sudah mulai bergerak mengambil air wudhu untuk menunaikan ibadah subuh.
Nyatanya, aku masih enggan beranjak.
Bukan juga karena merasa masih penat setelah membersihkan sisa-sisa acara pergantian tahun. Walau memang hanya perkumpulan keluarga, tapi dengan isi kegiatannya memasak berbagai makanan bagaimana mungkin tidak seru?
Bukan juga karena novel di pangkuan belum tuntas kubaca.
Namun, menyadari ada yang mengganjal di hati dan menyisakan pedih. Bahagia di sana hanya tinggal seujung kuku dari kepedihan yang totalnya setelapak tangan.
Dan aku masih kebingungan bagaimana melenyapkan pedih ini. Pedih karena ketidakmengertianku tentang-nya.
Tentu saja maksud utamaku adalah 'kami'.
Batasan waktu menunggu itu pun sudah lama habis–seharusnya. Namun kalian tahu kan, bahwa menyuruh hati yang enggan berpindah itu sama sulitnya mendiamkan anak bayi yang menangis kencang.
Jadi, aku tetap memilih untuk menunggu dan tidak berpindah - setidaknya untuk saat ini.
Karena cinta - selalu - sanggup mengalahkan segalanya. Bahkan kejenuhanku karena diabaikan. Tepatnya, kepedihan.
Segera, aku meletakkan novel di atas meja belajar dan beranjak dari kasur. Lalu berjalan menuju kamar mandi yang terletak di luar kamarku. Melewati kumpulan saudara sepupu ( generasi ketiga ) dan para tetua generasi kedua yang belum tidur. Enggan melewatkan momentum perpindahan tahun yang selalu berarti baru.
Aku terhenyak. Seharusnya, perasaan dan 'menunggu' ini pun kuperbaharui. Bukan berarti mengganti seluruhnya dan aku tidak boleh 'menunggu'. Namun, objek tujuannya harus kuperbaharui. Bagaimana bisa segala resolusi dan wishlist sanggup kuperbaharui dari tahun ke tahun. Tapi untuk hati, tak pernah?
Ah, lagi-lagi tidak ada jawaban. Sama seperti beribu pertanyaanku tentang-nya. Keberadaanya, keadaannya, bahagianya, sedihnya, hati-nya. Kenapa juga, ia tidak 'pulang' ? Padahal sudah lewat dua tahun - tepat.
Parahnya, tidak pernah ada jawaban lagi. Dan aku, masih dengan bodohnya menunggu ia yang tak ingin pulang dan ditunggu.
Lalu, air wudhu yang menyapa kulit, dingin dan juga menyegarkan. Langsung saja menyadarkanku dari kebodohan.
Tahun Baru 2010
Ada yang hilang.
Satu tahun ini berlalu dengan berbeda… dan aneh. Dengan tidak biasa. Aku merasa seperti orang yang baru pindah rumah – asing dengan segalanya. Padahal, aku tidak pindah ke mana-mana.
Hanya tempatku menuntut ilmu yang berpindah. Tentu saja karena aku sudah lulus sekolah menengah umum dan harus melanjutkan ke perguruan tinggi. Dan aku berhasil masuk ke salah satu perguruan tinggi favorit di Jakarta. Ia–lelakiku–pun mendapatkan kesempatan yang sama. Namun tidak diambilnya karena ada kesempatan lain yang memang lebih menggiurkan. Kuliah di luar negeri. Tentu saja ia memilih yang kedua. Karena baginya, PTN favorit pun nyatanya tetap kurang cukup. Padahal, aku sudah merasa berlebih.
Dan aku tahu pasti apa yang hilang. Aku juga tahu ke mana ia pergi. Tapi mengembalikannya, aku tak pernah tahu.
Ah sudahlah, ia baru saja berlalu kok. Ke negeri seberang untuk masa depannya – yang lalu ia janjikan sebagai masa depan kami. Eh, kenapa aku menyebutnya ‘yang lalu’? seolah aku ragu dan pesimis dengan janjinya.
Apa mungkin, sebenarnya memang begitu?
Tahun Baru 2009
“Kamu bener-bener harus pergi besok?”
Cowok di hadapanku mengangguk lemah. Matanya menghindari tatapan memelasku. Tentu saja, ia takut terlena kembali pada permohonan ‘kecil’-ku untuk menunda keberangkatannya.
Meninggalkan Jakarta, Indonesia. Meninggalkan keluarga dan lingkungannya selama hampir 18 tahun. Juga meninggalkan aku.
Aku menghela napas sambil membuang muka ke pemandangan luar cafe. Pemandangan yang ramai dan indah. Semarak dengan berbagai orang yang lalu lalang. Tak luput di tangan mereka beraneka jenis terompet yang siap ditiup beberapa menit lagi.
Ah, tentu saja. Ini malam tahun baru. Semua orang bersuka cita menghadapi pergantian tahun. Meninggalkan masa lalu untuk menjemput pergantian yang baru. Semua orang – sepertinya – bersuka cita kecuali meja di sudut cafe ini. Tempat di mana aku dan Aldi – pacarku – duduk sejak sejam lalu.
Sejam sebelumnya, kami bersuka cita di antara kumpulan teman-teman Aldi yang juga teman-temanku. Teman-teman SMA terdekat kami. Menyembunyikan sedih di antara beberapa tawa yang tercipta dari acara perpisahan yang dirancang oleh salah satu teman dekat Aldi.
“Kamu percaya aku – kita kan, Ra?” Aldi menatapku lekat sambil menggenggam tanganku di atas meja. Ternyata, yang khawatir bukan hanya saja aku. Aldi pun merasakan gelisah yang sama.
Aku hanya mengangguk. Berusaha memercayai bahwa takdir tidak akan memisahkan aku dan Aldi dengan putusnya hubungan kami yang sudah berjalan lebih dari tiga tahun. Ini hanyalah masa transisi di mana aku dan Aldi yang terbiasa bersama, setiap hari bertemu di sekolah. Dan menghabiskan waktu dengan berbagai kegiatan kami. Menjadi hubungan jarak jauh yang rentan dengan berbagai kendala.
Masa transisi yang selalu tidak mudah dan menyenangkan namun akan selalu ada dalam hidup manusia.
Dan gelisah, selalu akan menyergap. Mungkin aku percaya, tepatnya berusaha memercayai. Namun, keraguan dan ketakutanku akan adanya transisi lain – berpisah sepenuhnya dengan Aldi – adalah mimpi burukku.
Bagaimana jika aku kangen Aldi? Secanggih apapun teknologi jaman sekarang. Berada dalam pelukannya langsung lengkap dengan menghirup wangi Aldi dan merasakan kehangatannya tidak terkalahkan bukan?
“
I love you. And I’ll always believe in us
.”
Saat itulah kembang api meledak di kegelapan langit. Menjadi penambah keramaian orang-orang yang bersuka cita malam ini. Ledakan itu begitu ceria dengan warna-warninya. Juga menjadikan ceria setiap orang yang melihatnya.
Di bagian yang lain, ada pula yang meledak-ledak tak karuan. Bedanya, ia tidak berwarna-warni ceria seperti kembang api di langit. Hanya ada satu warna. Hitam yang begitu gelap. Disitulah kegelapan meledak di hatiku.
Ledakan yang semakin mencerai-beraikan rasa tak karuan yang semula berkumpul di sebuah rasa bernama gelisah.
Kini bercerai-berai. Dan membuatku semakin tak karuan.
Ini adalah tahun baru. Semua orang merasakan suka cita. Seharusnya, aku pun begitu bukan?
Tapi, mengetahui bahwa esok adalah hari di mana jarak antara orang yang kaucintai akan melebar dan pastinya akan meninggalkan jejak kangen. Apakah mudah untuk bersuka cita?
Tahun Baru 2012
Semenjak pergantian tahun 3 tahun yang lalu. Malam pergantian tahun selalu berbeda-beda maknanya.
Ada saat di mana malam itu menjadi malam kegelisahanku karena takut kehilangan. Ada juga menjadi malam yang begitu kelam karena masih menunggu dengan bodohnya. Padahal
e-mail, chatting, mention, dan komunikasi lainnya semakin berkurang intensitasnya.
Harusnya, saat itu juga aku menyadari tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Karena sudah saatnya aku melepaskan.
Namun, ketika kamu berada dalam kasmaran dan rindu yang meletup-letup. Bagaimana mungkin kan kamu akan berpikir sesimpel itu? Melepaskan. Karena hati akan selalu berusaha menarik kembali jangkarnya. Tetap bersemayam di sana dan tidak kemana-mana.
Karena, ada hal lain yang selalu tidak bisa menunggu dan dikontrol. Hal lain itu bernama rindu yang lebih menggugat daripada cinta.
Dan rindu memang selalu membuatku kembali. Lalu, menunggu dengan indahnya. Karena hanya cukup membayangkan rindu yang akan disapa oleh sang objek.
Padahal, inilah hidup. Ada yang datang dan pergi. Siklus selalu berganti dan aku – kita harus selalu sedia.
Ya... kenyataannya memang tidak semudah itu. Tapi, berlarut-laurt dalam kesedihan pun tidak baik.
Karena, ketika aku sudah rela. Aku menemukan pintu kebahagiaan lain. Lebih sederhana, tapi pasti dan ada. Tidak seperti Aldi yang selalu istimewa dan menawan, namun seakrang sangat sulit ditebak.
“Ngelamun, mulu!” aku tergelak menyadari gerakan lembut di ubun-ubun kepala. Mengacak-acak rambutku.
Aku merengut. Bukannya meminta maaf, ia malah tertawa.
Lalu, ia menarik kedua tanganku hingga semakin erat di dalam genggamannya. Dan bibirku pun langsung tertarik ke atas, sedikit-sedikit, tersipu karena melihat tawanya yang begitu menentramkan.
Dan, kembang api di langit gelap pun meledak. Seperti biasa, keindahannya menularkan kekaguman dan keceriaan untuk setiap orang yang menatapnya.
Namun kali ini aku merasa lebih dari itu.
Kembang api dengan berbagai warna seperti meledak di hatiku. Kali ini bukan warna gelap yang meresahkan. Namun, menentramkan.
Lalu kukecup jemarinya yang menggenggam tanganku dan langsung kunikmati wajahnya yang tersenyum.
Kami ada untuk bersimbiosis mutualisme dengan satu hal –
cinta.