Tentang
mereka yang terpaksa berpisah. Atas nama jarak.
“Jadi, ada orang lain?”
Gadis
itu merapihkan ratusan lembar kertas yang ada di depannya. Memasukkan
kertas-kertas yang membuatnya tidak tidur selama lebih dari dua bulan ke dalam
map plastik cokelat.
Setelah
selesai dengan kertas sedangkan masih belum ada juga sahutan dari lelaki yang duduk
di hadapannya. Ia beralih ke paper bag.
Merapihkan apapun yang dapat dijangkau oleh tangannya.
Lelaki
di hadapannya itu meringis. Merasa bodoh dan hina karena pertanyaan gadis itu.
Ia yang sejak dulu membangga-banggakan gadis itu sebagai gadis-nya, kini malah memberikan satu lubang
hitam di dalam hidup gadis itu. Selama lebih dari 1000 hari ia berusaha dengan
sepenuh hati dan gembira memberikan jutaan warna dalam hidup gadis itu. Kini ia
malah mengaburkan semuanya. Perlahan. Hingga kemudian menjadi lenyap.
Akhirnya
lelaki itu memilih untuk mengangguk terlebih dahulu. Sementara otaknya berputar-putar
untuk memikirkan urutan huruf-huruf yang akan diucapkannya.
“Kamu
juga ada kan? Jadi, untuk apa kita terus-terusan bohong dan menyakiti
diam-diam?”
Gadis
bernama Jenar itu mengangguk. “Iya, ada.”
Lelaki
bernama Raga itu mendesah. Melepaskan sebagian khawatir dan perasaan bersalahnya.
“Tapi
aku nggak kayak kamu yang dengan seenaknya mendekati atau membalas perhatian
orang itu.”
Perasaan
bersalah dan khawatir yang dikeluarkan Raga tadi, seolah kembali masuk ke dalam
hatinya. Kali ini lebih sesak dan memburu hatinya. Jika hatinya menolak,
perasaan itu malah akan membalas dengan kecepatan yang kalah lebih cepat
dibanding kecepatan cahaya di hampa udara. Perasaan bersalah itu tidak seperti
cahaya yang berkejaran di dalam hampa udara. Tapi ia membaur dengan satu
perasaan puncak atau pusat di dunia ini. Yang membuat semua orang rela
melakukan apapun. Yang membuat setiap orang dapat terlihat dungu dan bodoh.
Juga buta dan khilaf. Yang mampu menggerakkan siapapun yang malas menjadi rajin
dan semangat.
Pusat
itu bernama cinta.
Raga
ingin menjelaskan kepada Jenar bahwa kedekatannya dengan perempuan itu tidak
pernah direncanakan. Bahwa ia tidak pernah berniat untuk mengakhiri hubungan
mereka seperti ini.
Tapi
akhirnya Raga memilih diam. Malah membiarkan Jenar tetap berada dalam
kesalahpahaman yang entah kapan akan ia luruskan. Mungkin memang tidak perlu. Mungkin
Jenar akan mengerti dengan sendirinya. Dengan kehadiran lelaki lain itu di
dalam kehidupannya.
“Maaf.”
Akhirnya
hanya satu kata itu yang mampu diucapkan oleh bibirnya. Sebuah permintaan
singkat namun juga tulus. Ia ingin melakukan apapun untuk menebus sebuah
tindakan yang Jenar anggap sebagai kesalahan namun baginya tidak. Namun raga
juga tahu, bahwa Jenar tidak akan pernah mampu menerima apapun darinya.
“Aku
pulang.”
Jenar
tidak menjawab ataupun membalas permintaan maaf Raga. Maaf yang dilontarkan
Raga seperti mengambang di udara. Dibiarkan Jenar menari-nari di sekitar kepala
Raga. Membuat cowok itu semakin bingung.
Cewek
itu akhirnya berdiri sembari membawa tote bag dan juga paper bag yang berisi map dan berkas lain miliknya.
“Just so you know, nama kamu tetep akan
ada di skripsiku. Sekalipun kamu udah menyia-nyiakan kedatanganku ke Jakarta
hanya untuk ini.”
Lalu
Jenar pergi, meninggalkan perasaan bersalah yang memburu Raga. Perasaan
bersalah karena menghadapkan perempuan itu kepada patah hati.
Namun,
ia lebih tidak tega dan mampu untuk berbohong. Jika itu yang orang-orang maksud
dengan white lies: untuk membiarkan
Jenar tenang dan bahagia dengan kebohongan.
Kemudian,
Raga melakukan hal terakhir yang ingin ia lakukan untuk Jenar. Untuk meminta
maaf.
Berdoa.
Hal
itulah yang hanya mampu dilakukannya ketika ia tahu Jenar akan menolak apapun
ketulusannya setelah ini. Ia mendoakan dalam hati untuk kebahagiaan Jenar.
Dengan siapapun dan apapun kebahagiaan itu Jenar dapatkan.
**
Tentang
mereka yang tak mampu mengelak perasaan. Karena jarak...
“I’m feeling bad for Jenar.”
Perempuan
itu menggesekkan kuku-kuku tangannya. Napasnya mulai tak teratur. Selain karena
angin berhembus dari pendingin udara, mendinginkan udara di dalam mobil itu.
Namun juga karena segenap perasaan bersalah itu masih menetap.
“I’m scared of Karma, Ga. Aren’t you?”
Raga
menatap perempuan di hadapannya. Perempuan yang mampu menghapus wajah Jenar di
bulan-bulan terakhir ini. Perempuan yang suaranya selalu ingin didengarnya.
Perempuan yang omelan dan kecerewetannya tentang makan dan belajar yang selalu
dia rindukan jika mereka tak bersama, di saat weekend.
Perempuan
ini bernama Karina Putri Wicaksana.
Perempuan
ini yang mampu membuatnya jatuh cinta lagi di saat ia sedang mencintai Jenar.
Tidak,
Raga tidak pernah berniat untuk selingkuh. Bukan juga karena dia jenuh
berhubungan jarak jauh dengan Jenar yang berada di Bandung sedangkan ia di
Jakarta. Jarak sebanyak 400-an km selama 3 tahun ini berjalan mudah atas nama
cinta. Paling-paling rindu menggerogoti pikiran dan akan membuat bayangan wajah
Jenar selalu muncul di bayangannya jika rindu sudah akut.
Semuanya,
berhubungan jarak jauh dengan Jenar selama ini hampir mudah.
Lalu
semua terasa sulit ketika seseorang bernama Karin masuk ke dalam kehidupannya. Lalu
perlahan memasuki hatinya dan mengaburkan wajah Jenar ketika ia merindukan seseorang.
Wajah
itu berganti. Bukan lagi Jenar. Tapi perempuan di hadapannya ini.
“Karma won’t hit you as long as you
don’t try to ruining others...” Raga mengucapkan
kalimat itu sembari mengambil jemari Karin dan menggenggamnya di atas tongkat
persnelling tepat ketika lampu merah menyala.
Ia tahu bahwa Karin resah. Ia pun begitu.
Perasaan bersalah meninggalkan Jenar meninggalkan resah. Tapi, tidak akan
ditunjukkannya kepada Karin. Permasalahan dengan Jenar, cukuplah dirinya saja
yang menghadapi.
“Tapi
aku yang selalu berusaha untuk deket sama kamu.”
“Tapi
kamu nggak berusaha untuk menjauhkan aku dengan Jenar kan? Kamu nggak berusaha
untuk menyita waktu dan perhatian aku untuk melupakan Jenar kan?”
Karin
mengangguk.
Bagaimana
mungkin ia bisa lupa pada rasa sakit setiap Raga berteleponan singkat namun
mesra di depannya? Ketika ia tak sengaja melihat barisan kalimat dari conversation mereka di pesan singkat.
Ketika ia menemani Raga untuk mencari hadiah ulang tahun Jenar dan anniversary Jenar-Raga?
Mereka
hanya bersama. Dan menikmati semuanya.
Karin
sadar bahwa dirinya telah membuat orang lain memasuki fase yang paling tidak
enak dalam kehidan ini. Patah hati, ditinggalkan. Tapi jika ia disalahkan atas
semua ini, ia pun tidak akan pernah rela.
Kenapa kalian salahkan aku dan
bukan jarak?
Adakah
orang yang menginginkan jatuh cinta kepada orang yang cintanya telah dimiliki
oleh orang lain? Karin akan menjawab tidak.
Namun
begitu tangannya dengan tangan Raga bertautan. Bersatu dalam dinginnya AC
mobil. Segenap perasaan bersalah dan kekhawatirannya lenyap.
Lalu
ia melirik pada langit yang tidak mendung namun juga tidak cerah.
Karin
teringat pada perkataan orang tentang hujan adalah pembawa berkah. Bahwa hujan
adalah salah satu tanda di mana semua kegiatan yang sedang dilakukan seolah
mendapatkan restu dari bumi dan langit.
Maka,
ia memohon pada hujan untuk membawa berkah dan memberikan restu kepadanya.
Kepada Raga, dan cinta mereka.
**
Satu nama yang
terpampang di layar pengirim pesan singkat ponselnya membuat perempuan itu
tercenung.
Setelah
semua penolakannya yang berjumlah ratusan selama setahun ini. Mengapa baru
sekarang ia merasa bersalah?
Mungkin,
ini adalah awal yang telah Raga lakukan kepada Karin. Berusaha untuk menghargai
dan melihat ketulusan orang lain. Mungkin, Raga memang tidak pernah berniat
untuk mengkhianatinya mengingat bagaimana ramahnya ia kepada semua orang.
Tapi
siapa sangka, jarak dan waktu membuat orang menjadi khilaf dan berbuat salah?
Namun,
jika memang ini adalah jalan terbaiknya. Jenar tak menginginkannya sebagai
sebuah kebahagiaan yang harus didapatkannya setelah berbuat salah.
Ia
bergerak perlahan. Memastikan niat dan keinginannnya sehingga tidak akan ada
korban patah hati yang baru.
Gue juga lagi di Jakarta. Lagi di
Town Square nih. Wanna meet me here?
**
Jenar hampir tidak pernah menyukai hujan.
Selama
ini ia membenci hujan yang mengotori sepatu-sepatu kesayangannya. Ia membenci
hujan yang membasahi dan meninggalkan noda pada jeans kesayangannya. Ia
membenci musim hujan yang membuatnya harus selalu membawa payung jika
berpergian.
Namun
saat ini adalah kali pertamanya ia mengharapkan hujan turun. Dengan lebih cepat
dan lama. Supaya ia mampu mendengarkan isi hatinya lebih lama. Supaya ia mampu
meresapi isi hati orang di sampingnya lebih lama. Menyadari dan mengakui bahwa
mungkin ia yang terbaik.
“Okey,
udah sampe...”
Dan
saat itu, butiran uap air turun dengan perlahan dan kemudian menjadi deras.
Jenar
tersenyum.
**
Raga tersenyum.
Lega
bahwa Karin mempercayai dirinya juga dirinya sendiri. Bahwa perempuan itu tidak
pernah merebut siapapun. Bahwa kenyataan cintanya tidak menjadi tidak bertepuk
sebelah tangan adalah takdir yang indah namun perlu kerumitan di awalnya.
Lalu
Raga mengulurkan tangan kirinya kemudian menggenggam tangan kanan Karin yang
terkena ciprat air hujan.
Mereka
berdua sama-sama merasakan tenang dan damai luar biasa.
Sekalipun
angin dan hujan begitu ribut.
***